Pengertian Euthanasia..
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah qatlu ar-rahma atau taysir al-maut. Secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik sedangkan secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang. Menurut Philo (50-20 SM) euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik, sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya yang berjudul Vita Ceasarum mengatakan bahwa euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita” (Karyadi,2001). Menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing). Tindakan ini biasanya dilakukan terhadap penderita penyakit yang secara medis sudah tidak mungkin lagi untuk bisa sembuh.
Menurut istilah kedokteran, euthanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan. Juga berarti mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya (Hasan, 1995:145).
Bagi seorang dokter, sebenarnya masalah euthanasia merupakan suatu dilema yang menempatkannya pada posisi yang serba sulit. Dokter merupakan suatu profesi yang mempunyai kode etik sendiri sehingga ia dituntut untuk bertindak secara profesional. Pada satu pihak ilmu dan mempunyai tanggung jawab untuk membantu menyembuhkan penyakit pasien teknologi kedokteran telah sedemikian maju sehingga mampu mempertahankan hidup seseorang (walaupun istilahnya hidup secara vegetatif). Dokter merasa, sedangkan di pihak lain pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak individu juga sudah sangat berubah. Masyarakat mempunyai hak untuk memilih yang harus dihormati, dan saat ini masyarakat sadar bahwa mereka mempunyai hak untuk memilih hidup atau mati. Dengan demikian, konsep kematian dalam dunia kedokteran masa kini dihadapkan pada kontradiksi antara etika, moral, hukum dan kemampuan serta teknologi kedokteran yang sedemikian maju (sehingga mampu mempertahankan hidup vegetatif tadi).Seorang dokter terikat dengan sumpah dokter yang telah diucapkan. Pada poin ke tujuh lafal sumpah dokter Indonesia menyebutkan bahwa saya akan menghormati setiap hidup insan mulai dari saat pembuahan, sedangkan poin ke delapan menyebutkan bahwa saya akan mengutamakan kesehatan penderita. Pada sumpah dokter muslim terdapat lafal untuk melindungi jiwa manusia dalam semua tahap dan semua keadaan serta melakukan semampu mungkin untuk menyelamatkan dari kematian, penyakit dan kecemasan. Disinilah dokter akan menghadapi dilema dalam mengambil keputusan tindakan jika pasien ataupun keluarga pasien menginginkan euthanasia. Masalah ini merupakan masalah yang kompleks karena terkait dengan etika, moral, hukum, masalah ekonomi, sosial, agama dan budaya.
Euthanasia dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, euthanasia aktif, yaitu mengakhiri kehidupan seseorang secara aktif, misalnya dengan memberikan obat tidur dalam dosis yang mematikan atau dengan cara lain dngan memberikan suntikan ataupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti melepaskan saluran zat asam, melepas alat pemacu jantung dan sebagainya yang bertujuan mematikan pasien yang tidak mungkin disembuhkan, tanpa menimbulkan rasa sakit. . Euthanasia aktif merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat undang-undang. Contoh euthanasia aktif, misalnya ada seseorang menderita kanker ganas dengan rasa sakit yang luar biasa sehingga pasien sering kali pingsan. Dalam hal ini, dokter yakin yang bersangkutan akan meninggal dunia. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi menghentikan pernapasannya sekaligus (Utomo, 2003:178).
Kedua, euthanasia pasif, yaitu tindakan atau perbuatan “membiarkan pasien meninggal secara alamiah” dengan “tidak melakukan intervensi medis”. Penghentian pengobatan ini berarti mempercepat kematian pasien. Alasan yang lazim dikemukakan dokter adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, sementara dana yang dibutuhkan untuk pengobatan sangat tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi. Terdapat tindakan lain yang bisa digolongkan euthanasia pasif, yaitu tindakan dokter menghentikan pengobatan terhadap pasien yang menurut penelitian medis masih mungkin sembuh. Alasan yang dikemukakan dokter umumnya adalah ketidakmampuan pasien dari segi ekonomi, yang tidak mampu lagi membiayai dana pengobatan yang sangat tinggi (Utomo,2003:176).
Menurut Dr. Veronica Komalawati, S.H., M.H., ahli hukum kedokteran dan staf pengajar pada Fakultas Hukum UNPAD dalam artikel harian Pikiran Rakyat mengatakan bahwa euthanasia dapat di bedakan menjadi tiga bagian :
1. Euthanasia aktif yaitu tindakan secara sengaja yang dilakukan dokter atau tenaga kesehatan lain untuk memperpendek atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya, memberi tablet sianida atau menyuntikkanzat-zat yang mematikan kedalam tubuh pasien.
2. Euthanasia pasif. Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak (lagi) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat, dan melakukan kasus malpraktik. Disebabkan ketidaktahuan pasien dan keluarga pasien, secara tidak langsung medis melakukan euthanasia dengan mencabut peralatan yang membantunya bertahan hidup atau mengurangi pertolongan.
3. Autoeuthanasia. Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa itu akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut, ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Autoeuthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Euthanasia pasif adalah secara sengaja tidak (lagi) memberikan perawatan atau bantuan medik yang dapat memperpanjang hidup pasien, sedangkan euthanasia aktif adalah secara sengaja melakukan tindakan/langkah yang memang bertujuan untuk mengakhiri atau mempersingkat hidup pasien. Perbedaannya terletak pada maksud atau tujuan (intention) serta tindakan yang diambil berkaitan dengan kematian pasien tersebut.
Euthanasia pasif maupun autoeuthanasia dipandang sebagai hal yang ambigu. Pada satu sisi dipandang sebagai suatu perbuatan amoral sebab seorang dokter telah membiarkan orang lain menderita dengan penyakitnya. Pada sisi yang lain, tindakan tersebut justru dapat dianggap sebagai perbuatan mulia, karena dengan membiarkan penyakit yang diderita pasien berjalan secara alamiah hingga ajal menjemputnya (letting die naturally), berarti tidak memperpanjang penderitaan pasien. Tergantung dari sisi mana memandangnya, permasalahan ini bukan merupakan masalah medis semata sehingga perlu kerja sama yang erat dan koordinasi yang baik antara dokter dan keluarga pasien.
Pandangan Syariah Islam
Syariah Islam merupakan syariah sempurna yang mampu mengatasi segala persoalan di segala waktu dan tempat. Berikut ini solusi syariah terhadap euthanasia, baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
A. EuthanasiaAktif
Syariah Islam mengharamkan euthanasia aktif, karena termasuk dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad), walaupun niatnya baik yaitu untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram, walaupun atas permintaan pasien sendiri atau keluarganya.Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-dalil yang mengharamkan pembunuhan. Baik pembunuhan jiwa orang lain, maupun membunuh diri sendiri. Misalnya firman Allah SWT :
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (QS Al-An’aam : 151)
“Dan tidak layak bagi seorang mu`min membunuh seorang mu`min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)…” (QS An-Nisaa` : 92)
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisaa` : 29).
Dari dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa haram hukumnya bagi dokter melakukan euthanasia aktif. Sebab tindakan itu termasuk ke dalam kategori pembunuhan sengaja (al-qatlu al-‘amad) yang merupakan tindak pidana (jarimah) dan dosa besar.Dokter yang melakukan euthanasia aktif, misalnya dengan memberikan suntikan mematikan, menurut hukum pidana Islam akan dijatuhi qishash (hukuman mati karena membunuh), oleh pemerintahan Islam (Khilafah), sesuai firman Allah :
“Telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh.” (QS Al-Baqarah : 178)
Namun jika keluarga terbunuh (waliyyul maqtuul) menggugurkan qishash (dengan memaafkan), qishash tidak dilaksanakan. Selanjutnya mereka mempunyai dua pilihan lagi, meminta diyat (tebusan), atau memaafkan/menyedekahkan.
Firman Allah SWT : “Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula).” (QS Al-Baqarah : 178)
Diyat untuk pembunuhan sengaja adalah 100 ekor unta di mana 40 ekor di antaranya dalam keadaan bunting, berdasarkan hadits Nabi riwayat An-Nasa`i (Al-Maliki, 1990: 111). Jika dibayar dalam bentuk dinar (uang emas) atau dirham (uang perak), maka diyatnya adalah 1000 dinar, atau senilai 4250 gram emas (1 dinar = 4,25 gram emas), atau 12.000 dirham, atau senilai 35.700 gram perak (1 dirham = 2,975 gram perak) (Al-Maliki, 1990: 113).
Tidak dapat diterima, alasan euthanasia aktif yang sering dikemukakan yaitu kasihan melihat penderitaan pasien sehingga kemudian dokter memudahkan kematiannya. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah (empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lainnya yang tidak diketahui dan tidak dijangkau manusia. Dengan mempercepat kematian pasien dengan euthanasia aktif, pasien tidak mendapatkan manfaat (hikmah) dari ujian sakit yang diberikan Allah kepada-Nya, yaitu pengampunan dosa. Rasulullah SAW bersabda,
”Tidaklah menimpa kepada seseorang muslim suatu musibah, baik kesulitan, sakit, kesedihan, kesusahan, maupun penyakit, bahkan duri yang menusuknya, kecuali Allah menghapuskan kesalahan atau dosanya dengan musibah yang menimpanya itu.” (HR Bukhari dan Muslim).
Zuhroni et al. 2003. Islam untuk disiplin Ilmu Kesehatan dan kedokteran 2 (Fiqh Kontemporer), Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Jakarta. Menurut Zuhroni et al. (2003), secara normatif, memudahkan proses kematian secara aktif (euthanasia aktif) tidak dibenarkan oleh syara’. Hal ini dikarenakan dokter melakukan tindakan aktif dengan tujuan membunuh pasien dan mempercepat kematiannya melalui pemberian obat secara over dosis. Perbuatan sejenis itu tetap dikategorikan dalam pembunuhan meskipun faktor yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud meringankan penyakitnya atau rasa sakitnya. Islam mengajarkan bahwa yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah.
Manusia tidak diberi hak atau wewenang untuk memberi hidup dan atau mematikannya, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Yunus : 56 yang artinya
“bahwa Dia lah yang menghidupkan dan mematikan dan hanya kepada Nya lah kamu dikembalikan.”
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak ayat Al-Quran maupun hadist Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifz al-Nafs), sehingga seseorang tidak diperbolehkan untuk menghilangkan nyawa tanpa alasan syar ‘i yang kuat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 32 yang artinya
bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.
Melakukan tindakan pembunuhan sangat dilarang oleh Islam dan pelakunya pun diancam dengan sanksi yang berat, seperti dijelaskan Allah pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 92-93 yang artinya :
`` Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain , kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali ahli waris membebaskan denda tersebut. Jika yang terbunuh itu adalah kaum yang memusuhimu tetapi dia seorang mukmin, maka si pembunuh harus membebaskan seorang hamba yang beriman. Dan jika yang terbunuh adalah kaum kafir yang mempunyai perjanjian damai denganmu, maka si pembunuh hendaknya membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga terbunuh serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Jika pembunuh tidak mampu, dia harus berpuasa dua bulan terus menerus, sebagai wujud taubat kepada Allah. Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana (92). Dan siapa yang membunuh seorang mukmin dengan disengaja, balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal disana, kutukan dan laknat Allah terkena pada dirinya, disiapkan baginya siksa yang sangat dahsyat(93).``
Selain sanksi di akhirat, terdapat juga sanksi di dunia seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 45 yang artinya
`` Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasannya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dibalas dengan mata, hidung dengan hidung dan telinga pun dengan telinga, gigi juga dengan gigi, sedang luka dibalas dengan qishash. Tapi yang melepaskan hak pembalasan sebagai sedekah, maka itu merupakan penebus dosa baginya. Siapa yang tidak menetapkan hukum yang diturunkan Allah mereka itu adalah orang-orang yang zalim.``
B. Euthanasia Pasif
Adapun hukum euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam praktik menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa pengobatan yag dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Bagaimanakah hukumnya menurut Syariah Islam?Jawaban untuk pertanyaan itu, bergantung kepada pengetahuan kita tentang hukum berobat (at-tadaawi) itu sendiri.
Yakni, apakah berobat itu wajib, mandub,mubah, atau makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau berobat itu hukumnya mandub (sunnah), tidak wajib. Namun sebagian ulama ada yang mewajibkan berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (Utomo, 2003:180).
Menurut Abdul Qadim Zallum (1998:68) hukum berobat adalah mandub. Tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadits, di mana pada satu sisi Nabi SAW menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan di sisi lain, ada qarinah (indikasi) bahwa tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas (wajib), tapi tuntutan yang tidak tegas (sunnah).
Di antara hadits-hadits tersebut, adalah hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap kali menciptakan penyakit, Dia ciptakan pula obatnya. Maka berobatlah kalian!” (HR Ahmad, dari Anas RA)
Hadits di atas menunjukkan Rasulullah SAW memerintahkan untuk berobat. Menurut ilmu Ushul Fiqih, perintah (al-amr) itu hanya memberi makna adanya tuntutan (li ath-thalab), bukan menunjukkan kewajiban (li al-wujub). Ini sesuai kaidah ushul :
Al-Ashlu fi al-amri li ath-thalab
“Perintah itu pada asalnya adalah sekedar menunjukkan adanya tuntutan.” (An-Nabhani, 1953)
Jadi, hadits riwayat Imam Ahmad di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam hadits itu tidak terdapat suatu indikasi pun bahwa tuntutan itu bersifat wajib. Bahkan, qarinah yang ada dalam hadits-hadits lain justru menunjukkan bahwa perintah di atas tidak bersifat wajib. Hadits-hadits lain itu membolehkan tidak berobat.
Di antaranya ialah hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas RA, bahwa seorang perempuan hitam pernah datang kepada Nabi SAW lalu berkata,”Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku saat kambuh. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!” Nabi SAW berkata,”Jika kamu mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah agar Dia menyembuhkanmu.” Perempuan itu berkata,”Baiklah aku akan bersabar,” lalu dia berkata lagi,”Sesungguhnya auratku sering tersingkap saat ayanku kambuh, maka berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap.” Maka Nabi SAW lalu berdoa untuknya.(HR.Bukhari)
Hadits di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadits ini digabungkan dengan hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat, maka hadits terakhir ini menjadi indikasi (qarinah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib. Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandub), bukan wajib (Zallum, 1998:69).Dengan demikian, jelaslah pengobatan atau berobat hukumnya sunnah, termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998:69) mengatakan bahwa jika para dokter telah menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya, maka para dokter berhak menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya. Sebab pada dasarnya penggunaan alat-alat bantu tersebut adalah termasuk aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, bukan wajib. Kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya kehidupan bagi pasien. Meskipun sebagian organ vital lainnya masih bisa berfungsi, tetap tidak akan dapat mengembalikan kehidupan kepada pasien, karena organ-organ ini pun akan segera tidak berfungsi.Berdasarkan penjelasan di atas, maka hukum pemasangan alat-alat bantu kepada pasien adalah sunnah, karena termasuk aktivitas berobat yang hukumnya sunnah. Karena itu, hukum euthanasia pasif dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien setelah matinya/rusaknya organ otak hukumnya boleh (jaiz) dan tidak haram bagi dokter. Jadi setelah mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, dokter tidak dapat dapat dikatakan berdosa dan tidak dapat dimintai tanggung jawab mengenai tindakannya itu (Zallum, 1998:69; Zuhaili, 1996:500; Utomo,2003:182).
Namun untuk bebasnya tanggung jawab dokter, disyaratkan adanya izin dari pasien, walinya, atau washi-nya (washi adalah orang yang ditunjuk untuk mengawasi dan mengurus pasien). Jika pasien tidak mempunyai wali, atau washi, maka wajib diperlukan izin dari pihak penguasa (Al-Hakim/Ulil Amri)(Audah,1992:522-523).
Menurut Zuhroni et al. (2003), untuk menentukan hukum euthanasia pasif ini terlebih dahulu perlu dilihat keterkaitannya dengan hukum berobat. Ulama menyatakan bahwa hukum berobat menjadi sunnah, wajib, mubah atau haram jika penderita dapat diharapkan kesembuhannya, jika tidak ada harapan sembuh sesuai sunnatullah dan hukum kausalitas, sesuai diagnosis dokter ahli yang dapat dipercaya, maka tidak seorangpun dapat mengatakan sunnah apalagi wajib. Pada kasus seorang pasien yang diberi berbagai macam pengobatan dengan cara meminum obat, suntikan, dan sebagainya ataupun menggunakan alat-alat pernafasan buatan dan yang lainnya sesuai dengan teori kedokteran modern dalam waktu yang relatif lama tetapi penyakitnya tetap saja tidak berubah, maka melanjutkan pengobatan tersebut menjadi tidak wajib dan tidak pula mustahab, bahkan mungkin kebalikannya (tidak mengobatinya) adalah wajib atau sunnah. Membiarkan pasien hidup dengan bantuan alat hanya akan menghabiskan dana, selain itu juga menghalangi penggunaan alat-alat tersebut bagi orang lain yang lebih memerlukannya dan memperoleh manfaat dari alat tersebut.
Memudahkan proses kematian dengan``euthanasia pasif `` sebaiknya tidak diikuti unsur membunuh dengan rasa kasih sayang, dalam hal ini tidak ada tindakan aktif dokter, tetapi dokter hanya meninggalkan sesuatu yang wajib dan tidak sunnah sehingga tidak dikenai sanksi. Tindakan pasif ini dapat dinilai sebagai jaiz dan dibenarkan oleh syara’ bila pihak keluarga menginginkannya, dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan beban pasien dan keluarganya. Dalam masalah ini sangat diperlukan informed consent yang baik.
Menurut syara’, seseorang dianggap meninggal sehingga diberlakukan hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan kematian, apabila telah nyata salah satu dari dua indikasi. Pertama, apabila denyut jantung dan pernafasannya sudah berhenti secara total, dan para dokter telah menetapkan bahwa hal itu tidak akan pulih kembali. Kedua, apabila seluruh aktifitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih, otaknya sudah tidak berfungsi (Zuhroni et al.2003)
Dalam kondisi tersebut diatas, ulama menetapkan diperbolehkan melepas instrumen yang dipasang pada seseorang meskipn sebagian organnya, seperti jantung masih berdenyut karena kerja instrumen tersebut. Argumen kebolehan melepas alat-alat pengaktif organ dan pernafasan dari pasien, karena tidak berguna lagi. Bahkan sebagian ulama mewajibkannya untuk menghentikan penggunaan alat-alat tersebut, karena menggunakan alat-alat itu berarti bertentangan dengan syariah Islam. Alasannya adalah tindakan tersebut menunda pengurusan jenazah dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian warisan, masa ‘iddah bagi istri dan hukum lain yang terkait dengan kematian. Disamping itu juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak berguna, sedangkan hal ini dilarang dalam Islam. Penggunaan alat tersebut juga memberikan mudharat kepada orang lain dengan menghalangi penggunaan alat tersebut kepada yang lebih membutuhkannya. Dalam ketentuan hukum Islam, memberi mudharat kepada diri sendiri dan kepada orang lain dilarang, sesuai dengan hadists Nabi, yaitu HR. Ibn Majah, Ahmad, dan Malik yang artinya :
`` Dari `ubadat, bahwa Rasulullah SAW mewajibkan agar tidak memberikan mudharat kepada diri sendiri dan kepada orang lain``.
Islam mengajarkan bahwa yang lebih berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah. Orang yang mengakhiri hidupnya sendiri atau orang lain dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama, seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri yang diharamkan dan diancam dengan siksa yang berat. Sanksi di dunia jika persyaratannya terpenuhi dikenai qishas, kaffarah, atau diyat dan atau di akhirat dengan adzab neraka. Euthanasia pasif diperbolehkan menurut pandangan hukum Islam, sedangkan euthanasia aktif dilihat dari segi kode etik kedokteran, KUHP, dan hukum Islam merupakan perbuatan yang terlarang. Keluarga yang meminta dokter melaksanakan euthanasia aktif dipandang sebagai pelaku pembunuhan yang disengaja oleh karena itu dikenakan hukuman qishash atau diyat. Dokter yang sengaja melaksanakannya atas permintaan pasien ataupun keluarga dipandang sebagai seorang yang membantu pelaksanaan bunuh diri pasien sehingga ikut menanggung dosa atas perbuatannya. Wallahualam.
Euthanasia merupakan masalah yang kompleks. Masalah euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, etika, moral, hukum, ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, budaya dan agama, sehingga masalah ini tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang saja. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran pada aspek yang lainnya. Dalam menangani masalah ini perlu pembicaraan yang serius antara jajaran hukum, pihak yang mengurusi masalah etika dan disiplin kedokteran, maupun pemuka agama sehingga dapat menghasilkan peraturan dan batasan yang jelas tentang euthanasia. Dokter sebagai tenaga kesehatan yang profesional hendaknya selalu berusaha mencari informasi terbaru tentang masalah kesehatan dan berhati-hati dalam mengambil keputusan tindakan pada pasiennya serta dapat menolak dengan tegas tindakan atas permintaan pasien ataupun keluarga pasien yang bertentangan dengan etika, norma maupun peraturan yang berlaku.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian terdahulu, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut:
Yang berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah SWT. Oleh karena itu, orang yang mengakhiri hidupnya dengan cara dan alas an yang bertentangan dengan ketentuan agama (tidak bilhaq), seperti euthanasia aktif, adalah perbuatan bunuh diri, yang diharamkan dan diancam Allah dengan hukuman neraka selama-lamanya.
Euthanasia aktif tetap dilarang, baik dilihat dari segi Kode Etik kedokteran, Undang-undang Hukum Pidana, lebih-lebih menurut Islam, yang menghukumkannya haram. Terhadap keluarga yang menyuruh, maupun dokter yang melaksanakannya, dipandang sebagai pelaku pembunuhan sengaja (qatl al-‘amd) dengan ancaman qishash-diyat. Sedangkan dokter yang melaksanakan euthanasia aktif atas permintaan pasien, dipandang sebagai membantu terlaksananya bunuh diri.
Euthanasia pasif diperbolehkan, yaitu sepanjang kondisi organ utama pasien berupa batang otaknya sudah mengalami kerusakan fatal. Sedangkan kerusakan organ jantung, paru-paru, dan cortex otak (otak besar) dalam dunia kedokteran sekarang masih bisa diatasi, artinya belum dapat dikatakan pasien sudah mati, karena masih ada harapan untuk disembuhkan, terutama dirumah sakit yang mempunyai peralatan lengkap. Maka tindakan euthanasia terhadap pasien dalam kondisi seperti ini sama dengan pembunuhan.
Saran-saran
Untuk menghadapi beberapa masalah yang berkaitan dengan adanya euthanasia ini, perlu kiranya dikemukakan saran-saran berikut:
Jika pertimbangan kemampuan untuk memperoleh layanan medis yang lebih baik tidak memungkinkan lagi, baik karena biaya yang amat terbatas, maupun karena rumah sakit yang lebih lengkap terlalu jauh, maka dapat dilakukan dua cara: 1) menghentikan perawatan / pengobatan, artinya membawa pasien pulang kerumah; 2) membiarkan pasien dalam perawatan seadanya, tanpa ada maksud melalaikannya, apalagi menghendaki kematiannya.
Umat Islam diharapkan tetap berpegang teguh pada kepercayaannya yang memandang segala musibah (termasuk menderita sakit) sebagai ketentuan yang datang dari Allah. Hal itu hendaknya dihadapi dengan penuh kesabaran dan tawakkal. Justru keadaan yang kritis itu merupakan masa penentuan kokoh atau goyahnya iman seseorang. Dan konsekuensi dari sikap yang diambil akan dipertanggung jawabkan di kemudian hari.
Para dokter diharapkan tetap berpegang pada Kode Etik Kedokteran dan sumpah jabatannya, sehingga tindakan yang mengarah kepada pencepatan proses kematian bisa dihindari.
No comments:
Post a Comment