Kisah Cinta dari
Masjid
Kampus
|
Oleh : Ayat Al Akrash
Tahun
2040
Seorang kakek-kakek duduk di sebuah sekret rohis kampus. Sekret
itu berukuran 3x3 meter. Kecil, tapi sangat nyaman. Lantainya dialasi karpet
coklat. Ada lemari file, kaca besar di sampingnya. Buku-buku Islam tersusun rapi
di hadapan kakek itu duduk. Jendela terbuka lebar. Terdengar kicauan dari burung
yang ada di dalam sangkar. Kerut-kerut di wajahnya sangat kentara. Rambutnya
sudah memutih. Ia termenung. Kepalanya tertunduk. Ia tengah memandangi sebuah
album foto. Tak jauh darinya, ada setumpuk album foto lainnya. Lama sekali ia
memandangi album foto itu.
Seorang mahasiswa berbaju koko, masuk ke
sekret dan sebelum duduk di sebelahnya, ia mengucap salam, sambil mengulurkan
tangannya, mencium tangan kakek itu dan mencium pipi kiri dan
kanan.
“Wa’alaikumsalam Wr Wb,” jawab sang kakek.
Untuk beberapa
saat mereka saling terdiam. Kakek itu masih asyik menatapi foto-foto tersebut.
Membuka-buka halamannya.
“Saya suka melihat foto-foto ini, dan saya tak
kan pernah bosan melihatnya,” ujar kakek itu memecah kesunyian.
Matanya
terlihat sayu dan memendam kerinduan yang mendalam. Mahasiswa itu terlihat tak
mengerti, tapi kemudian ia berujar, “Ya, Pak saya pernah melihat foto-foto itu,
sepertinya orang-orang di dalam foto itu sangat kompak ya.”
Mahasiswa
itu mendekat dan ikut melihat foto-foto itu. “Lihatlah ikhwan-ikhwan ini, mereka
semua sangat kompak,” kata kakek itu sambil menunjuk sebuah foto dan tiba-tiba
wajah kakek itu terlihat sumringah.
“Tahukah kamu,… untuk mewujudkan
ikhwan-ikhwan yang kompak seperti ini, ada pengorbanan dari para senior-senior
kami dahulu dan juga dari teman-teman kami sendiri,” kakek itu menjelaskan.
Mahasiswa itu kemudian bertanya, “Bapak sendiri yang mana?” “Saya…, yang
ini… Bersama teman-teman saya dulu…,” ujar kakek itu sambil menunjuk ke sebuah
foto ikhwan yang memakai ikat kepala putih dan slayer biru saat mukhayyam di
gunung.
Tiba-tiba pintu sekret terbuka dan ada enam orang ikhwan berbaju
koko, memasuki sekret sambil tertawa riang dan bercerita panjang lebar. Begitu
melihat kakek itu, mereka segera mengucap salam, dan bersalaman.
“Acaranya baru dimulai 10 menit lagi, Pak,” ujar seorang ikhwan berbaju
biru.
“Eh, teman-teman, ini tadi beliau sedang cerita… Ternyata ada foto
beliau ketika masih seusia kita, lho” ujar mahasiswa tadi.
“Wah, yang
bener yah…,” seru seorang dari mereka.
Mereka berebutan untuk melihat
album foto dan mengelilingi kakek itu. Terlihatlah foto-foto para aktivis kampus
angkatan 1996. Ikhwan dan akhwatnya terlihat sangat kompak. Puluhan akhwat
berjilbab rapi berdiri di belakang para ikhwan yang duduk berjongkok sambil
memegang spanduk acara. Dan banyak lagi foto-foto yang serupa. Meski sudah 46
tahun yang lalu, namun foto-foto itu masih terjaga baik. Ya.., karena kakek itu
menyimpannya…
Seorang mahasiswa memasuki sekret dan berkata, “Pak,
acaranya sudah dimulai.” Mereka semua lalu keluar bersama-sama menuju tempat
acara. Kakek itu berjalan menyusuri sepanjang koridor kampus menuju ruangan
seminar. Dengan berjalan lambat-lambat, didampingi para mahasiswa. Sepanjang
jalan ia disapa oleh setiap mahasiswa yang berpapasan dengannya. Meski kampus
swasta, tetapi terlihat lebih mirip pesantren karena hampir semua mahasiswinya
berjilbab dan mahasiswanya berbaju koko. Kakek itu hadir sebagai pembicara di
sebuah seminar bertema, “Menyikapi Kemenangan Da’wah” yang disambut takbir
ribuan peserta ikhwan dan akhwat di kampus itu. Kampus yang telah futuh.
Acara dibuka dengan tilawah dan diawali dengan tampilnya tim nasyid.
Ketika tiba saatnya pada materi inti, sang moderator membacakan biodata
pembicara. Setelah dipersilahkan untuk menyampaikan materi, kakek itu membukanya
dengan basmallah. Ia sempat terdiam sesaat. Dipandanginya aula besar yang berisi
ribuan mahasiswa dan mahasiswi. Matanya berkaca-kaca. Ia terkenang akan kenangan
masa lalu. Pandangannya nanar.
(Ruangan itu berubah ke tahun
1996)
Di tempat yang sama. Ruangan itu lenggang.
Terdengar
suara, “Nanti kita mengadakan seminarnya di ruang ini saja, karena sound
systemnya di sini bagus,” ujar Bram kepada teman-temannya. Beberapa teman yang
berada di dekatnya mengangguk tanda setuju.
“Tapi, apa tidak terlalu
besar ya, Bram … karena pesertanya dikhawatirkan sedikit,” ujar seorang
mahasiswi bernama Laras, yang rambutnya diikat ekor kuda.
“Saya pikir,
tidak Laras.. Tema seminar kali ini cukup menarik, insya Allah anak-anak
mahasiswa baru banyak yang datang, kok.”
Bram bersama tiga temannya
berjalan bersama menuju sekret. Di sepanjang jalan menuju kampus, para mahasiswa
laki-laki dan perempuan terlihat bercampur baur. Yang mahasiswinya merokok dan
mahasiswanya memakai anting. Bahkan ada yang tak malu-malu berpelukan di koridor
kampus.
Bram, mahasiswa semester tiga, fakultas ekonomi di sebuah
universitas swasta di Jakarta. Rambutnya lurus dibelah tengah, kulitnya sawo
matang, postur tubuhnya sedang, badannya tegap, dan jago bela diri Tae Kwon Do.
Ia suka memakai celana bahan dan kemeja lengan panjang. Sehingga tampak sekali
keikhwanannya. Suaranya yang lembut namun tegas, membuatnya disegani, sehingga
ia didaulat menjadi ketua rohis untuk masa periode itu.
Krisis
Regenerasi dan Optimisme Bram
Suatu hari, Bang Didit dan Bram
membuat janji untuk bertemu di sekret pada pukul 10.00. Di tengah kesunyian
sekret, Didit yang notabene adalah DP (Dewan Pembina) senior rohis angkatan ’94,
berkata kepada Bram.
“Dek, kondisi angkatan ‘96 seperti ini. Abang
sedikit pesimis.”
Bram tertunduk. Ia baru saja diangkat menjadi ketua
dari organisasi rohis yang kualitas anggotanya, sangat jauh dari harapan, karena
mereka masih belum memiliki sikap teguh pendirian dan masih sedikit jiwa
berkorbannya untuk dakwah. Pun masih gemar ber-ikhktilat. Namun jauh di lubuk
hatinya, Bram tetap optimis, bahwa bila Allah menghendaki, manusia pasti bisa
berubah, pasti bisa….
“Di akhwat juga tidak ada, dek….” tambah Bang
Didit, ingin menekankan bahwa hanya Bram yang bisa menjadi motor penggerak dalam
organisasi rohis itu. Bram berfikir keras. Amanah berat di pundaknya. Ya…,
memang kondisi di kampus ini sangatlah berbeda dibanding SMU-nya yang ada di
daerah.
Dulu di SMU, aktivis bertumpuk dan suasananya sudah sangat
islami. Tapi kini, tugas yang akan diembannya sangat berat, yang sampai-sampai
para DP pun, sudah di ambang pesimisme. Di lubuk hatinya, Bram memegang teguh
janji Allah, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum (Jika kamu
menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu).
Surat Muhammad ayat 7 itu selalu menyemangati dirinya untuk tetap optimis berada
di jalan ini. Karena hidayah Allah, siapa yang tahu? Teman-teman pasti bisa
berubah….
Andre, Aktivis Da’wah Sekolah (ADS)
Saat tengah
duduk-duduk di depan sekret rohis, Bram melihat seorang mahasiswa yang tampaknya
seperti ikhwan, menuju tempat wudhu. Dan instingnya seakan memperkuat hal itu.
“Assalaamu’alaikum,” kata Bram.
“Wa’alaikumsalam wr wb,” jawab
pemuda berjanggut tipis dan tampan itu.
“Em…, antum Ikhwan, ya?” tembak
Bram to the point.
“Saya…… JT,” jawabnya mantap.
“O…. Maaf ya,
Assalaaamu’alaikum” ujar Bram malu-malu dan segera ngeloyor pergi kembali ke
sekret. Saat Bram berbalik beberapa langkah, pemuda itu memanggilnya. “Eh..,
akhi… tunggu, maksud saya … JT itu Jamaah Tarbiyah,” ujarnya sambil tersenyum
ramah.
“Ooo…. Alhamdulillah….,” senyum Bram pun mengembang.
Mahasiswa itu bernama Andre, mahasiswa tingkat II yang ternyata ADS juga
di SMU-nya. Bram sangat senang mendengar itu. Bram mengajak Andre untuk
berkomitmen di jalan dakwah. Bram menjelaskan kondisi rohis kampus yang
memprihatinkan. Andre mahasiswa yang cerdas, perawakannya sedang, rambutnya ikal
dan kulitnya putih dengan pipi yang kemerah-merahan. Andre mengangguk, “Maka
marilah kita berjanji setia untuk berjuang di jalan-Nya,” ujar Andre menyambut
ajakan Bram.
Bram tersenyum. Dan mereka berjanji setia untuk senantiasa
di jalan Allah. Sejak itu mereka senantiasa selalu bersama dan ikatan cinta
diantara mereka sangatlah kuat.
Zaid, Sang Jurnalis
Usai
shalat Zuhur, sebelum jamaah bubar, Bram segera maju ke depan, mengambil mic dan
memberi kultum di masjid kampus. Ia memulainya dengan basmalah dan membacakan
firman Allah SWT QS. Saba’: 46-50. Dengan semangat yang membara, kata-kata yang
lugas dan tegas, lidah yang lancar, ia berkata, “Kepada para pemuda yang
merindukan lahirnya kejayaan, kepada umat yang tengah kebingungan di
persimpangan jalan. Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya, yang telah
menggoreskan catatan membanggakan di lembar sejarah umat manusia. Kepada setiap
muslim yang yakin akan masa depan dirinya sebagai pemimpin dunia dan peraih
kebahagiaan di kampung akhirat… "
Para jamaah yang semula hendak bubar,
demi mendengar seruan Bram yang menggetarkan jiwa itu, spontan segera menoleh ke
arah Bram dan mereka kembali duduk di tempatnya dikarenakan gaya bicara Bram
yang sangat menarik.
Bram melanjutkan, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih
lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah
membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan
jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi
seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga-rumah tangga kaum muslimin
menuju terbangunnya rumah tangga yang islami. Setelah itu, kita akan menempa
bangsa kita menjadi bangsa yang muslim, yang tertegak di dalamnya kehidupan
masyarakat yang islami. Kita akan meniti langkah-langkah yang sudah pasti, dari
awal hingga akhir perjalanan. Kita akan mencapai sasaran yang digariskan Allah
bagi kita, bukan yang kita paksakan untuk diri kita. Allah tidak menghendaki
kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,”
seru Bram.
“Kita pun akan mengetahui bahwa sesungguhnya memisahkan agama
dari politik itu bukan dari ajaran Islam. Pemisahan itu tidak pernah dikenal
oleh kaum muslimin yang jujur dalam beragama dan paham akan ruh ajarannya.
Sesungguhnya agama ini adalah agama, ibadah, dan tanah air, …..”
Andre
memperhatikan para jamaah. Dan ada beberapa jamaah yang terlihat sangat antusias
dengan seruan Bram. Andre mendekati seorang pemuda. Setelah mengucapkan salam,
mereka berkenalan.
“Saya Andre.”
Pemuda itu membalas senyum
Andre dan berkata, “Saya Zaid.”
“Zaid, nama yang bagus sekali seperti
sahabat yang menjadi sekretaris nabi."
“Iya, engkau benar,” jawab Zaid.
“Bagaimana menurutmu tentang orang di depan itu?” tanya Andre.
“Em.., bagus sekali dan saya tertarik untuk menuliskannya di koran
saya,” jawab Zaid.
Andre mengerutkan keningnya. “Anda jurnalis?”
“Ya, saya jurnalis di koran kampus.”
Sesaat Andre baru sadar,
bahwa Zaid mengenggam pena dan membawa sebuah note book kecil di tangannya.
Setelah mengobrol panjang lebar, Bram berkata, “Emm…Kalau begitu bagaimana kalau
engkau mengaji bersama-samaku.”
“Mengaji?”
"Ya, kita akan
mengaji dan mengkaji lebih dalam lagi apa yang dikatakan mahasiswa itu.”
“Ya… Tentu.., “ jawab Zaid setelah berpikir beberapa saat.
Mahasiswa Baru
Ospek untuk menyambut mahasiswa baru
angkatan ’97 digelar di kampus tersebut. Pakaian mereka putih dan hitam. Dengan
rambut diikat pita tiga, ratusan mahasiswa baru telah berkumpul di lapangan.
Suasana sangat ramai. Para aktivis dari BEM dan Himpunan berjaket almamater
telah bersiap-siap. Dan para aktivis rohis tengah mempersiapkan tempat shalat
untuk shalat Zuhur.
Di bawah panas terik matahari, ratusan Mahasiswa
Baru duduk di lapangan dan mendengarkan instruksi dari para senior, tak jarang
kata-kata kotor keluar dari mulut mereka. Bram jengah mendengarnya. Sudah
mahasiswa tapi intelektualitsnya justru minus, pikirnya.
Semua mahasiswa
baru, dikumpulkan di lapangan kampus.
“Siapa yang tidak bawa atribut
lengkap, cepat maju ke depan dalam hitungan tiga! Kalau tidak, terima sendiri
akibatnya!” seru sang senior berjaket almamater biru. Ia mulai menghitung.
Beberapa junior maju ke depan. Bram berjaket almamater dan memandangi para
mahasiswa baru untuk berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tiba-tiba
matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru, berjilbab putih. Ia seperti
mengingat-ingat sesuatu…. Itu.. seperti.. seperti…. Sita! Sita sudah berjilbab…?
Bram terdiam dan pikirannya melayang dengan kejadian setahun lalu.
Saat
itu.. ketika ia masih kelas 3 SMU….
“Saya tidak bisa meneruskan hubungan
kita, dek… Kita akhiri sampai di sini saja…..,” ujar Bram pada seorang adik
kelas yang tak lain adalah kekasihnya.
“Tapi.., kenapa? Bukankah selama
ini hubungan kita baik-baik saja, Bang…” jawab Sita dengan memandang lekat-lekat
wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu. Air mata Sita sudah tak terbendung
lagi.
“Maafkan saya, dek… tetapi saya bukanlah Bram yang dulu lagi. Saya
sudah memikirkan ini masak-masak, saya ingin berubah…”
Sita dan Bram
duduk berdua di pinggir lapangan basket SMU. Mereka saling terdiam beberapa saat
dan memandangi pintu gerbang SMU mereka yang sudah mulai sepi. Langit berwarna
merah. Rambut lurus Bram tertiup angin yang sepoi-sepoi. Azan maghrib sebentar
lagi berkumandang.
“Apa yang membuat abang berubah? Padahal dua hari
lalu, abang katakan bahwa kita akan selalu bersama, apakah engkau sudah
melupakan kata-kata abang sendiri…,” Suara Sita terdengar parau.
Sesungguhnya jauh di lubuk hati Bram, sangatlah berat melepas Sita.
Tapi.. ., ada yang jauh lebih ia cintai dari wanita yang berambut sebahu itu…
Mengatakan perpisahan inipun sangat sulit baginya. Tapi.. tapi.. ia harus bisa
karena ada yang lebih ia harapkan dari Sita, yaitu… ampunan dan rahmat Allah. Ia
tak dapat memungkiri bahwa hatinya gelisah luar biasa bila berdekatan dengan
Sita, seakan dosa yang terus menggunung tinggi.
Azan Maghrib
berkumandang.
Bram tersigap, ia bangkit dari duduknya dan berkata, “Sudah
azan, saya mau shalat. Shalat yuk.., dek…,” ajak Bram. Sita memandang Bram
dengan tatapan penuh keheranan…dan bertanya-tanya dalam hati.. sejak kapan Bram
shalat? Bukankah ia sendiri yang sering mengatakan tak suka dengan anak-anak
rohis……
“Abang saja yang shalat, Sita nanti aja,” jawab Sita enggan. Bram
dan Sita saling berpandangan, lama sekali. Seakan banyak isi hati yang
terucapkan lewat tatapan mata mereka. Hati Bram bergemuruh. Qomat berkumandang
dari masjid sekolah. Bram menundukkan pandangannya, dan berkata,
“Saya
shalat…” Ia membawa tas ranselnya dan menuju masjid sekolahnya. Sita tertunduk
dan air mata mengalir di pipinya yang kemerah-merahan.
Usai shalat
Maghrib, Bram termenung sesaat… Hatinya sedih luar biasa, ia tahu, pasti Sita
saat ini sedang menangis. Apakah ia harus menemui
Sita lagi dan
menenangkannya, seperti yang selama ini ia lakukan. ”Aku di sini untukmu.” Kata
–kata itulah yang sering ia ucapkan bila Sita bersedih. Tetapi kini.. apakah ia
harus menemuinya dan mengatakannya lagi.. Ah.., tidak.. Aku sudah bertekad, aku
harus berubah! Harus!. Ya Allah.., istiqomahkanlah aku di jalan-Mu. Bram
memanjatkan doa dengan hati bersungguh-sungguh. Tak terasa ia menitikan air
mata. Ikatan yang sudah terjalin sejak mereka SMP, harus pupus di tengah jalan.
Biarlah… biarlah .. kita menangis saat ini Sita, daripada kita menangis di
akhirat nanti. Bram lebih memilih jalan untuk menjauhi apa yang namanya pacaran.
Dan ia berkomitmen untuk selalu berada di jalan para nabi ini….
Bram
menyenandungkan syair nasyid Izzatul Islam
Selamat tinggal wahai dunia
duka dan selamat datang wahai dunia iman Burung yang patah sayapnya tak
akan mati karena lukanya Wahai hatiku yang sedih perangainya Sungguh
kesedihan itu teah meninggalkan diriku Kan terbang aku ke dunia
cinta Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman Gelarku adalah muslim
dan itu cukup bagiku Dibawah naungan agama aku hidup Untuk menebus
keislamanku yang nyaris sirna
**
“Assalaamu’alaikum, Bram…
Nanti tempat wudhunya gimana?” tanya teman rohisnya, Andre. Kehadiran Andre
membuyarkan lamunan Bram, “Oh.. eh.. Wa’alaikumsalam, itu sudah disiapkan, jadi
nanti yang mahasiswanya wudhu di dekat gedung K,” jawab Bram mantap. Andre
mengangguk dan meninggalkan Bram usai mendapat jawaban itu. Bram beristighfar
dan segera kembali mempersiapkan atribut shalat, seperti spanduknya dan
lain-lain. Bram bergumam, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit
aqdamakum.
Bram duduk di masjid usai shalat Zuhur. Ia dan teman-temannya
bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Ia memandangi orang-orang yang shalat.
Dan dari kejauhan ia melihat seorang mahasiswa baru yang tengah duduk. Bram
menghampirinya dan mengucapkan salam. Mahasiswa baru berambut plontos itu
menjawab salam sambil tersenyum ramah.
“Sudah shalat?” tanya Bram
padanya.
“Sudah, Bang… lagi nunggu temen, dia belum selesai,” jawabnya
sedikit malu-malu. Bram lalu berkenalan lebih jauh dengan mahasiswa yang
ternyata benama Andi itu. Bram berkata, “Nanti kapan-kapan kamu main ke sekret
rohis aja.”
“Ke sekret? Ngapain Bang,” tanya Andi heran.
“Ya
maen aja, belum penah ke sekret rohis, kan?” Bram kembali mengajak.
Dan
kali ini Andi mengiyakan dan berjanji akan mengunjungi sekret rohis. Andi
berpamitan setelah temannya usai shalat. Mereka berlari menuju kelas.
Bram Bersama Teman-Teman
Selama kepengurusannya, Bram
melakukan gebrakan-gebrakan da’wah. Dan ia memprioritaskan da’wah di atas
segalanya. Totalitas Perjuangan. Ia persembahkan untuk meninggikan kalimatullah.
Bram, Andre dan Zaid bekerjasama untuk berda’wah kepada para mahasiswa baru, pun
kepada teman-teman mereka sendiri.
Bram mencarikan ustadz agar mereka
dapat mengkaji Islam bersama. Ini akan menjadi menthoring pertama dalam
organisasi ini. Sejak itu, mereka bertiga mengadakan pertemuan mingguan bersama
seorang ustadz.
Saat kuliah, Bram, Andre dan Zaid ada di kelas yang
bersebelahan. Mereka dapat dengan mudah berkoordinasi bila ada teman-teman
Da’wah Fardiyah. Semuanya mereka rencanakan dengan baik. Hingga akhirnya
terekrutlah beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi, untuk semakin mengokohkan
barisan da’wah.
Perpustakaan Masjid
Bram memasuki masjid
dan melihat banyak sekali buku-buku Islam yang tak terawat. “Buku-buku adalah
sumber ilmu,” ujar Bram ketika mengajak Andre untuk mendata buku-buku tersebut.
Jumlah buku Islam itu ada 500 buku. Mereka berdua mencatat nama buku,
pengarangnya, dan penerbitnya. Lalu membuat nomor-nomor buku, kemudian
menempelkannya di setiap buku. Selama sebulan lebih Bram dan Andre melakukan
itu. Bram bersyukur karena ada Andre yang bersedia membantunya.
“Kapan
nih selesai bukunya, kok ngga’ selesai-selesai,” ujar seorang anggota rohis saat
memasuki sekret. Ia hanya membaca beberapa buku, dan kemudian meletakkannya.
“Makanya, bantuin dong, biar cepet selesai,” ujar Andre sedikit kesal.
Karena Andre tahu, Bram yang paling banyak berperan dalam mengurusi
buku-buku itu, dan ia tidak rela bila orang hanya bicara saja tanpa membantu.
Bram hanya terdiam mendengar itu. Berapa banyak orang yang sanggup bicara,
tetapi sedikit yang mengerjakannya. Dan berapa banyak orang yang mau
mengerjakannya, tetapi mau serius dan berkorban untuk melakukannya.
Setelah satu bulan, pendataan buku-buku itu pun selesai. Bram dan Andre
meletakkannya di perpustakaan masjid. Mereka segera membuat kartu perpustakaan,
sehingga para mahasiswa dapat meminjamnya. Dan dapat beredarlah fikrah kita.
Pengorbanan
Bram, Andre dan Zaid terkejut sesaat, tetapi
kemudian memberikan selamat kepada Laras, karena ia baru saja berjilbab. Laras
tersipu-sipu, dan dari lubuk hatinya, Laras yakin bahwa inilah jalan yang lurus,
jalan yang benar, jalan yang Dia ridhoi. Dengan jilbab ini, Laras berjanji untuk
senantiasa di jalan ini…
Sekret rohis itu dikunjungi oleh mahasiswa dan
mahasiswi. Di sekret akhwat, sangatlah ramai oleh canda tawa para mahasiswi,
sampai-sampai suara mereka terdengar di sekret ikhwan. Andre kerap kali mengetuk
jendela akhwat, agar tidak terlalu berisik. Bila sudah demikian, para akhwat dan
mahasiswi yang ada di dalam hanya tersenyum tertahan. Andre hanya geleng-geleng
kepala.
Dan di sekret ikhwan pun tak jauh berbeda. Bahkan mereka bermain
bola di dalam sekret. Andre hanya geleng-geleng kepala (lagi). Tetapi Bram
memang tidak mencegah hal itu dan membiarkannya karena anggota yang baru
bergabung tidak bisa dipaksa langsung berubah total.
Di dalam sekret
itu, diadakan jadwal kultum harian. Setiap orang mendapat giliran. Laras membuat
jadwal di akhwat, dan Andre membuat jadwal di ikhwan. Tilawah dan kajian, juga
menjad agenda mingguan.
Kala maghrib menjelang, ketika tak ada seorangpun
di lingkungan sekret. Bram masuk ke sekretnya. Dan ia membereskan sekret yang
berantakan. Hampir setiap hari ia melakukan itu, karena pengkondisian sekret
bagi Bram sangat penting. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Bagaimana
mungkin hidayah Allah akan turun bila tempat ini berantakan…, gumam Bram. Untuk
saat ini, ia belum bisa meminta teman-temannya untuk melakukan tugas ini, karena
banyak yang menolak. Dan Bram memaklumi hal ini. Ia menyapu lantai, merapihkan
buku-buku, membuang sampah-sampah, dan memasang mading ataupun menempel
tausiah-tausiah di sekret.
Menghadapi Kristenisasi
Sita
bergabung dengan rohis kampus. Namun Sita yang sekarang, bukanlah Sita yang
dulu, karena kini ia telah berjilbab rapi dan ia sudah membuang jauh-jauh
kenangannya bersama Bram. "Ya Allah, aku ada di sini karena Engkau. Semoga
Engkau luruskan niat-niat kami di jalan-Mu,” doa Sita di setiap shalat
malamnya.
“Aduh, gimana yah, temen gue ada yang mau keluar dari Islam,”
kata Anita, teman sekelas Sita, suatu hari.
“Hah? yang bener?” seru
Sita. Sewaktu di SMU ia juga pernah menemui kristenisasi di SMU-nya.
“Iya, tapi Sita jangan bilang siapa-siapa ya, rahasia,” ujar Anita yang
celana jinsnya robek-robek di bagian lututnya. Anita berkata itu dengan mimik
serius dan rokok mengepul dari mulutnya. Sita hanya mengangguk-angguk.
Pakai jilbab, mau murtad? Tubuh Sita seakan limbung mendengar itu.
Haruskah ia kehilangan lagi saudara muslim lagi. Sewaktu di SMU ia pernah
menghadapi hal yang sama, pemurtadan dan saat itu teman SMU-nya murtad karena
diiming-imingi harta. Sita segera membuka-buka kembali buku kristologinya. Ia
membenahi jilbab putihnya. Argumen-argumen apa yang harus ia sampaikan kepada
seseorang yang mau murtad. Ia mencatat semuanya dalam selembar kertas dan esok
paginya, ia sudah siap dengan argumennya.
Namun Sita tak dapat
menyembunyikan keterkejutannya. Ia menceritakan hal itu kepada orang yang ia
percaya, yang notabene pasti tak mengenal Anita. Hal ini terdengar di telinga
Bram, ketua rohis, bahwa ada kristenisasi di kampus.
Saat rapat rohis,
Bram berkata, “Kita mendapat laporan dari atas, bahwa di kampus kita terjadi
kristenisasi.” Sita tertunduk dalam mendengarnya.
“Sebaiknya hal seperti
ini tidak disembunyikan, karena bila sampai terjadi pemurtadan, dapat mencoreng
wajah da’wah kita di kampus ini,” tambah Bram dengan tegas. Bram masih menunggu
ikhwah yang sebenarnya mengetahui hal ini.
Sitapun akhirnya angkat
bicara, “Ya, sebaiknya kita mencari kristolog untuk membantu akhwat ini, karena
kabarnya, dia mendapat ancaman juga dari kekasihnya yang Kristen, akh…” Hm..,
Bram akhirnya tahu siapa orangnya.
“Ya, sebaiknya begitu…,” jawab
Bram.
Para ikhwah mempersiapkan agenda bersama agar mahasiswi tersebut
tidak murtad. Lima akhwat, diantaranya Sita dan Laras, melakukan aksi detektif.
Mereka ingin mengetahui dahulu wajah sang mahasiswi yang berkudung gaul
tersebut. Kejar-kejaran dari belakang. Bersembunyi kala ia menoleh. Sesekali
para akhwat tersenyum bersama. Setelah mahasiswi itu berhasil diidentifikasikan,
akhirnya Sita menjadi duta untuk melakukan dialog dengannya.
Bram terus
memantau perkembangannya dari hari ke hari. Dan dari Anita, Sita mengetahui
bahwa mahasiswi tersebut membatalkan niatnya untuk berpindah agama dari bujukan
pemuda Kristen tersebut, karena agama adalah yang paling utama. Allahu Akbar!
Misi detektif akhwat selesai.
Riska, Namanya
Pagi hari.
Di ruang kelas. Para mahasiswa tengah menunggu datangnya dosen Pengantar
Akuntansi 2. Bram segera masuk ruang kelas. Dan duduk di baris kedua. Ia membuka
buku Akuntansinya dan melihat-lihat lembaran buku merah tersebut. Ia tak
memperhatikan bahwa sedari tadi ada mahasiswi yang mengamati dirinya. Bram
menoleh ke arah kanannya dan melihat mahasiswi manis, bercelana jins, baju
jungkis dan berambut keriting tengah menatapnya. Bram segera melemparkan
senyumnya. Mahasiswi itu membalas senyumnya. “Kamu anak rohis ya?” tanya
mahasiswi itu.
“Iya, saya Bram,” jawab Bram memperkenalkan diri.
“Riska."
“Saya dari dulu pengen ikut rohis nih, tapi bisa ngga’
ya?” ujar Riska.
“O… tentu aja bisa. Kamu maen aja ke sekret rohis,”
jawab Bram. Tiba-tiba dosen masuk dan menghentikan obrolan Bram dan Riska.
Kuliah berlangsung selama 2 jam.
Usai kuliah, Bram mengajak Riska untuk
berkunjung ke sekret rohis. Bram memperkenalkan Riska kepada beberapa akhwat
rohis. Di dalam sekret,
Riska melihat-lihat sekeliling sekret yang
isinya begitu banyak buku-buku Islam.
“Sejak kapan kamu pakai jilbab?”
tanya Riska pada Sita.
“Emm…, kelas 3 SMU, Mbak.”
“Wah, baru
pakai ya?”
“Iya”
“Dulu dapat halangan ngga’ dari orangtua?”
tanya Riska lagi.
“Iya, dulu mintanya susah sekali. Tapi dengan
berusaha, akhirnya orang tua mengizinkan,” jawab Sita.
Riska
mengangguk-anggukkan kepala. Mereka kemudian membicarakan banyak hal, mulai dari
keluarga sampai seputar wanita. Riska mengakui bahwa wawasan Islam Sita sangat
baik.
Pers Kampus
Zaid, semenjak bergabung dengan rohis,
ia menggunakan kemampuan menulisnya untuk meninggikan kalimatullah. Tulisannya
menghiasi media cetak kampus. Ia mampu menciptakan tulisan-tulisan yang
universal, yang dapat diterima oleh kalangan dosen maupun mahasiswa. Sehingga Al
Haq dapat tersampaikan. Dan ia kerap kali meliput kegiatan-kegiatan rohis dan
memasukkannya ke koran kampus. Dengan ini, perlahan tapi pasti, terciptalah
opini publik yang Islami lingkungan kampus tersebut.
Tidak hanya itu,
kemampuannya itu ia teruskan kepada teman-teman dan junior-juniornya. Misinya
dalam jangka panjang adalah membentuk pers kampus. Bram pun turut men-support
keberadaan pers Islam ini. Hingga terbentuklah satu divisi baru, yaitu Divisi
Jurnalis. Yang bertugas mem-blow up kegiatan-kegiatan rohis dan menggalang opini
publik.
Bram Membangkitkan Semangat Teman-Teman
Sekret ikhwan
dan akhwat terpisah. Letaknya ada di belakang masjid kampus itu. Para aktivis
ini tengah mempersiapkan acara sebagai follow up dari penyambutan mahasiswa
baru. Mereka melakukan rapat. Hanya ada 8 orang, yaitu Zaid, Bram, Andre, Andi,
Riska, Laras, Sita dan Riska. Tak jarang mereka harus pulang malam untuk
melakukan rapat-rapat. Bahkan kuliah bagi mereka adalah nomor dua. Yang utama
adalah da’wah. Namun meskipun demikian, mereka semua tetap berprestasi dalam
kuliahnya, dengan IPK minimal 3. Karena mereka memiliki motto, “Ikhwah sejati
harus ber-IPK minimal 3!”
Bram selalu menjadi motor setiap event-event
keislaman di kampus. Ia senantiasa memotivasi teman-temannya untuk tetap
istiqomah di jalan ini. Dan di dalam sebuah organisisi, bukannya tanpa masalah,
tetapi Bram dan teman-temannya berusaha memiimalisirnya, karena ukhuwah yang
utama.
**
Roy Bergabung dengan Rohis
Di kosnya, Bram
memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Langit terang oleh cahaya
bulan purnama… Lama sekali ia menatap langit…
Terbayang di matanya…
akhlak para mahasiswa di kampusnya yang merosot. Semua itu berkelebat dahsyat di
pikirannya.
Saat itulah, teman satu kosnya yang sedang menonton TV,
menekan channel berita Metro TV, “Korban kembali jatuh di Palestina, bom bunuh
diri dilakukan oleh Wafa Idris, wanita Palestina yang membawa bom. Tiga orang
tentara Israel tewas dan puluhan lainnya luka-luka.” Bram segera berlari menuju
TV mendengar berita itu. ketika melihat TV…, Innalillah… sampai seorang wanita
yang harus maju untuk berperang, kata Bram. Mata
Bram berkaca-kaca
menyaksikan suasana di Palestina. Terlihat, Ambulance menolong korban luka-luka
orang-orag Israel.
“Eh…, kenapa loe..?” tanya Roy, teman satu kosnya.
“Roy …, Kamu tahu…., Palestina itu tempat apa?” tanya Bram pada Roy yang
tengah menghisap sepuntung rokok.
"Palestina kan di Arab sana,” jawabnya
cuek. Bram menggeleng.
“Di Palestina ada Masjid Al Aqsha, itu adalah
kiblat pertama kita dan sekarang diinjak-injak oleh zionis Israel, sudah sejak
tahun 1948, sejak perjanjian Balfour,” ujar Bram dengan serius.
Roy
mengangguk-angguk, terbengong-bengong…”Ooh… begitchu yah..”
Bram
terbangun dari tidurnya. Ia termenung sejenak. Dilihatnya, pukul 02.00 dini
hari. Ia mengambil air wudhu dan shalat malam. Dalam shalat malamnya, ia membaca
surat Al Anfal, lama sekali… Roy yang kamarnya ada di sebelah Bram, tengah sibuk
membuat program web site. Di depan internetnya ia meng-up load postnuke dari
situs. Jari-jarinya bergerak cepat. Sesekali ia membuka situs porno, dan
terkekeh sendiri. Rokok di tangan kirinya dan ada Majalah porno pula di tangan
kanannya. Roy keluar dari kamarnya saat mendengar suara orang menangis
terisak-isak. Roy keluar dari kamarnya dengan kaos oblong dan rambut yang
berdiri dan acak-acakan.
Ia melihat ke dalam kamar yang pintunya terbuka
sedikit. Bram sedang shalat. Kepala Roy tertunduk… Dan ia masuk kembali ke
kamarnya. Di dalam kamarnya, ia memandangi majalah pornonya, dan dilemparnya
majalah itu ke lantai. Ditutupnya semua situs yang ia browse sedari tadi. Ia
mengambil sebuah buku yang sudah berdebu, Al Qur’an. Roy teringat kata-kata
Bram…”Di Palestina ad Masjid Al Aqsha, itu tempat qiblat pertama kita…”
terngiang-ngiang kata-kata itu. Dan terbayang pula senyum manis Bram saat ia
sering mengajaknya untuk shalat ke masjid dan biasanya Roy menolaknya
mentah-mentah, tetapi Bram senantiasa bersabar mengajaknya. Dibersihkannya Al
Qur’an itu dari debu dengan tangannya. Dibukanya pada surat mana saja… Dan yang
terbuka olehnya adalah Surat Ar Rahman “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang
kamu dustakan?” Roy membacanya.. indah sekali ayat ini.
Bram bangun di
pagi hari. Dan bersiap-siap untuk shalat Subuh di masjid. Bram terkejut ketika
Roy mengikutinya dari belakang… Dengan malu-malu,
Roy berkata, ‘‘Kenapa?
Gue mau ke masjid juga, tidak boleh?”
“Eh.. boleh.. tentu saja boleh…,"
Bram cepat-cepat membuang keterkejutannya itu dan mereka melangkah bersama
menuju masjid di dekat kosan mereka.
Usai shalat, Bram membuka buku
kecil berwarna hijau.
“Itu apa? Gue liat loe sering bawa buku itu,”
tanya Roy.
‘‘Ini… Ini namanya Al Ma’tsurat, zikirnya Rasulullah SAW yang
dibaca setiap pagi dan petang,” jelas Bram.
“Gitu yah? Boleh ngga’ gue
baca,” tanya Roy lagi.
“Boleh, kita baca bareng-bareng aja ya. Nih…”
ujar Bram menyerahkan buku itu.
“Loh, terus loe baca pake apa?”
“Insya Allah saya sudah hafal…,” kata Bram.
“Oooo….” Roy
mengangguk-angguk. Mereka membacanya bersama-sama hingga matahari menampakkan
cahayanya.
Di dalam kamarnya, Roy memandangi ruangannya yang berantakan
seperti kapal pecah. Ia terdiam sesaat dan dengan segera membersihkan dan
membereskan kamarnya. Sapu, lap pel, ada di tangannya. Ia mencopot semua
poster-poster band kesayangannya. Buku-buku porno ia kumpulkan.
Seketika, kamarnya bersih dan mengkilat hingga ke kaca-kaca jendela. Ia
keluar dari kamar dan diluar ia menyalakan api… dilemparnya semua buku porno itu
ke dalam api. Roy tersenyum penuh kemenangan.
Roy menyisir rapi
rambutnya yang lurus dan dibelah tengah. Ia melepas anting yang setia di telinga
kananya. Ia merapikan janggutnya dan memakai wangi-wangian. Penampilannya
menjadi lebih rapi.
SEMINAR AKBAR, KEMENANGAN
Andre yang
notabene adalah Ketua Departemen Syi’ar, menjadi Ketua pula dalam acara seminar
yang akan digelar. Ia membentuk struktur panitia.
Acara ini tergolong
besar, karena akan melibatkan dosen dan mahasiswa. Target pencapaian adalah 500
peserta. Itu berarti peserta akan memenuhi ruang auditorium di kampus tersebut.
Zaid, yang ahli dalam membuat tulisan, membuat sebuah artikel yang
sangat bagus akan pentingnya seminar ini. Ia memasukkannya dalam koran kampus
yang memang independen, sehingga ia tak mendapatkan halangan yang berarti.
Roy pun memanfaatkan keahliannya dalam dunia maya dengan menjaring massa
melalui dunia cyber. Ia menggunakan email, mailis, situs, Yahoo Messenger dan
Friendster untuk menyebarkan berita ini. Dan tulisan-tulisan Zaid ia muat dalam
setiap pesannya dalam internet. Bram, yang memiliki karisma dalam dirinya,
mengajak para dosen untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Ia menggunakan
cara-cara yang ahsan dan menawan hati.
Sita, Laras dan Riska menjalankan
amanahnya mengajak para muslimah untuk hadir dalam seminar. Mereka kerap
mempublikasikannya dalam kajian keputrian yang setiap minggunya dihadiri oleh
tak kurang dari 50 muslimah, di setiap Jum’at.
Dalam mempersiapkan
kegiatan ini, tak jarang, Andre dan teman-temannya harus pulang malam untuk
mengadakan rapat-rapat. Dan di siang hari, mereka aktif mencari sponsor demi
terselenggaranya kegiatan. Lelah. Inilah yang dirasakan Andre dan jajaran
kepanitiaanya.
“Kamu kenapa?” Bram seakan menangkap kegalauan hati
saudaranya yang tengah termenung di sekret rohis. Ia memperhatikan bahwa Andre
sedikit melemah semangat dakwahnya. Andre hanya terdiam.
“Ingat…,
disana.. di Pelestina.., saudara-saudara kita tengah berjuang. Apa yang kita
lakukan di sini, belumlah seberapa dibandingkan mereka,” ujar Bram sambil
menatap dalam kepada Andre. Andre merasa malu, karena Bram mengetahui kegalauan
hatinya. Dan ucapan Bram itu seakan menjadi air sejuk di tengah kegersangan
hatinya.
Hari H pun akhirnya datang. Andre melakukan briefing kepada
panitia, saat pagi hari. Tiket telah terjual habis, bahkan masih ada yang ingin
memesan tiket. Dan diperkirakan ruangan akan melebihi kapasitas. “Semoga Allah
selalu meluruskan niat-niat kita saat menapaki jalannya. Hadir di sini
semata-mata karena Allah,” ujar Andre untuk memotivasi panitia. Seluruh sie
melaporkan tugasnya. Cek dan ricek.
Ticketing di depan ruangan seminar
telah bersiap-siap. Semua anggota rohis memakai jaket almamater. Mereka bak
tentara-tentara Allah yang bersiap-siap di posnya masing-masing. Acara ini
mendapat sambutan yang sangat baik dari para dosen, pun mahasiswa. Para
mahasiswa berbondong-bondong tertarik untuk mengikuti program menthoring yang
diselenggarakan oleh rohis.
Kesolidan Antar Departemen
Bram dan
Andre telah menyiapkan 20 menthor. Menthoring diadakan untuk mendidik seorang
muslim agar akidahnya bersih, akhlaknya solid, ibadahnya benar, pikirannya
intelek, tubuhnya kuat, mampu memanfaatkan waktu, dan bermanfaat bagi orang
lain. Dari seminar itu, paling tidak, terbentuklah 20 kelompok menthoring, yang
masing-masing kelompok, ada 8 orang. Itu berarti ada 160 orang yang terekrut
melalui seminar tersebut.
Karena kesolidan Departemen Pengembangan
Sumber Daya Muslim (DPSDM) dan Departemen Syi’ar, maka proses rekruitmen dan
pembinaan berjalan lancar. Bram, Roy, Zaid dan Andre hanya bisa mengucap
hamdalah akan kemenangan ini.
Berbondong-Bondong Berjilbab
Sita tengah sibuk mendata barang-barang di sekret. Pintu sekret
terbuka dan… Sita melihat rok panjang berwarna hitam. Ia mendongak ke atas dan
terlihatlah wajah Riska yang sedang tersenyum malu-malu dengan jilbab putihnya.
Untuk sesaat Sita terperangah, dan kemudian cepat-cepat tersadar dan memberikan
selamat kepadanya. Sita memeluk Riska erat sekali. Alhamdulillah… ujarnya.
Semenjak itu, bagaikan kartu domino. Mahasiswi yang lainpun berjilbab.
Selama sebulan, sudah ada 20 orang yang berjilbab. Bahkan sampai muncul istilah
ditengah-tengah mereka bahwa ada “Taubat massal.”
Suasana sekret akhwat
kian ramai dihiasi canda tawa para akhwat. Tak jarang mereka melakukan aksi
smack down, antar mereka. Mereka semua bersama-sama membantu gerak da’wah. Dan
Andre senantiasa mengetuk jendela akhwat agar tidak terlalu berisik. Hi..hi..hi…
para akhwat bukannya diam, tetapi semakin ramai. Andre hanya geleng-geleng
kepala. Dan Bram tersenyum melihat sikap Andre.
Persiapan Dauroh
Rohis mengadakan dauroh (pelatihan) yang merupakan alur terakhir dari
organisasi tersebut. Bram, Andre, Zaid dan Roy melakukan survey di daerah Gunung
Bunder. Mereka berempat memakai ikat kepala putih dan membawa ransel besar.
Persiapan untuk naik gunung.
Mereka telah mempersiapkan dauroh ini
selama satu bulan lebih. Waktu, tenaga, pikiran dan juga uang, mereka korbankan
demi terselenggaranya kegiatan dauroh tersebut. Jalur-jalur yang akan dilalui
peserta, mereka beri tanda. Namun tak terasa, malam telah menjelang. Dan sesuatu
yang aneh terjadi, mereka tak bisa menemukan jalan pulang. Padahal seharusnya
jalan yang dilalui tidaklah terlalu sulit. Mereka kembali menyusuri jalan. Hawa
dingin dan malam yang pekat. Hanya berbekal dua senter.
Pukul 22.00.
Mereka kemudian sadar bahwa sedari tadi hanya berputar-putar di satu tempat.
Bram berkata, “Sepertinya ini sudah bukan dunia manusia lagi, sebaiknya kita
membaca ayat kursi.” Andre, Roy dan Zaid mengiyakan. Dan sepanjang perjalanan,
mereka membaca ayat kursi. Dengan doa, zikir dan tawakal, mereka akhirnya dapat
turun gunung dengan selamat. Allahu Akbar!
Dauroh ini diikuti oleh 160
orang peserta. Mukhayyam selama 3 hari 2 malam. Tenda-tenda dibangun sendiri
oleh peserta. Ikhwan dan akhwat berlomba mendirikan tenda masing-masing. Dauroh
ini diisi dengan out bond, ceramah dan aneka games. Mendaki gunung. Dan yel-yel
kelompok yang semakin menyemarakkan suasana.
Usai kegiatan, mereka semua
berfoto bersama dengan pakaian penuh lumpur. Wajah puluhan ikhwan terlihat
sangat gembira, dengan ikat kepala putih dan slayer biru. Para ikhwan berfoto
sendiri dan berbaris rapi. Dan puluhan akhwatpun berfoto sendiri di tempat
lainnya. Jilbab-jilbab mereka yang rapi, berkibar tertiup angin gunung. Mereka
semua terlihat sangat kompak. Andre mengabadikan event itu dengan kameranya.
Bram Menikah
Bram bercerita pada Andre bahwa ia akan
menggenapkan setengah diennya dan Insya Allah dalam waktu dekat. Andre turut
bahagia mendengar penuturan saudaranya itu. Namun Bram sendiri belum tahu siapa
orangnya, karena ia percaya sepenuhnya kepada pilihan ustadznya. Mendengar itu,
Andre percaya bahwa Allah akan memberi yang terbaik untuk Bram.
Seminggu
kemudian Bram mendapat sebuah amplop dari ustadznya. Dengan hati berdebar, namun
tetap tenang, ia membuka biodata sang akhwat. Bram termangu membaca nama
calonnya itu… Sita Anggraini… Ya Rabbi… Sungguh tak akan lari gunung di kejar,
gumam Bram.
Di tempat lain…, Sita juga menerima amplop dari murabbiyahnya
dengan perasaan tenang. Ketika ia membuka dan membaca nama calonnya…. Bram
Adhiyaksa…, Sita setengah berbisik menyebut nama itu. Ya Rabbi…
Proses
ta’aruf (perkenalan) Bram dan Sita berlangsung singkat. Bram datang meminang ke
rumah Sita. Pernikahan berlangsung sederhana dan menggunakan hijab yang berupa
tanaman-tanaman. Puluhan aktivis rohis datang pada acara yang sangat bersejarah
dalam kehidupan manusia itu.
Lagu-lagu nasyid diputar saat itu. Bram
yang gemar dengan nasyid Izzis dan Shoutul Harakah terpaksa harus menggantinya
dengan nasyid yang slow, karena tak mungkin di hari perhikahannya ia memutar
nasyid genderang perang.
Keluarga Pejuang
“Jika
bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta
kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai
daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai
Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada
orang-orang fasik.” (QS. 9:24). Suatu hari Bram merasa gundah, kalau berangkat
istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang
malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam
diatas 24.00.
Dia katakan pada Sita, "Dek…, kita ini dipertemukan oleh
Allah dan kita menemukan cinta dalam dakwah. Apa pantas sesudah dakwah
mempertemukan kita lalu kita meninggalkan dakwah. Saya cinta kamu dan kamu cinta
saya, tapi kita pun cinta Allah". Bram pergi menerobos segala hambatan dan
pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik
setelah beberapa hari.
Aksi 12 Mei
Kepada para
mahasiswa yang merindukan kejayaan Kepada rakyat yang kebingungan di
persimpangan jalan Kepada pewaris peradaban yang telah
menggoreskan, Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia Wahai
kalian yang rindu kemenangan Wahai kalian yang turun ke jalan Demi
mempersembahkan jiwa dan raga Untuk negeri tercinta
Rasulullah
SAW bersabda, “Di hari kiamat, Allah akan menaungi pemuda yang berani mengatakan
yang haq di depan penguasa yang zalim.”
Berlandaskan hadits ini,
aksi-aksi mahasiswa marak di berbagai daerah di tanah air.
Dan Aksi 12
Mei. Aktivis rohis yang bergabung, berjumlah dua ratus orang lebih. Bram ikut
memimpin gerakan mahasiswa untuk merobohkan rezim
Soeharto yang telah
berkuasa selama 32 tahun. Bram dan aktivis rohis lainnya, mendesain sebuah aksi
turun ke jalan, untuk kali yang pertama.
Namun tak disangka, aparat
bersikap repsesif. Mahasiswa berlari ke dalam kampus menyelamatkan diri dari
tembakan aparat. Bram yang berada di depan terkena tembakan peluru di perutnya.
Seorang Satgas dari Senat berhasil menariknya ke dalam kampus sebelum sempat
dipukuli oleh aparat.
Dan yang terjadi selanjutnya mirip dengan
perjuangan intifadah rakyat Palestina. Dimana mahasiswa berusaha mempertahankan
diri dengan melemparkan batu, botol aqua dan apa saja yang bisa dipungut di
jalan kepada aparat yang bersenjata api.
Balasan yang 'sangat amat baik
sekali' dari aparat keamanan. Tiap kali terdengar letusan senapan yang keras dan
menggetarkan kaca-kaca di
Gedung M, massa mahasiswa spontan berteriak
'Allahu Akbar'. Mahasiswa yang tidak kuat menahan emosi berteriak-teriak
istighfar dan mengutuk perbuatan aparat bermoral binatang. Karena bantuan
alat-alat medis yang kurang, korban dibawa ke Gedung I.
Inna Lillahi Wa
Ina Lillahi Roji'un, mahasiwa yang sedang berbaring ini sudah tidak bernyawa.
“Tidak ada nafasnya!” seru seorang rekan ketika tidak merasakan aliran nafas
dari hidungnya. Tidak kuat menahan emosi yang sedang terjadi, beberapa mahasiswa
beristighfar menyebut nama Allah Swt, dan lainnya menyerukan untuk mengadakan
pembalasan, sebagian lagi berusaha menahan emosi rekannya. "Tidak ada gunanya
dilawan", "Jangan ada korban lagi", semuanya mundur, rekan kita sudah ada yang
meninggal, Mundur semua!” jerit beberapa rekan mahasiwa.
Mahasiswa-mahasiwa yang berada di barisan depan terus melempari petugas
dan berteriak-teriak histeris. Kabar kematian rekan mahasiswa tampaknya malah
membakar emosi mahasiswa barisan depan tersebut.
Bram Meninggal
Bram dalam kondisi kritis. Darah mengalir deras. Teman-teman segera
membawanya ke rumah sakit. “Bram…. Bram….,” panggil Andre dengan wajah sangat
cemas. Bram melihat wajah Andre, semula jelas… namun pandangannya kabur dan
semuanya menjadi gelap.
Sudah satu bulan Bram ada di rumah sakit. Banyak
aktivis yang menjenguknya. Dan pada minggu ke enam, Bram sudah diperbolehkan
pulang ke rumah.
Namun sejak penembakan itu, Bram tak bisa lagi berjalan
seperti biasa. Karena pukulan keras di kepalanya dari aparat, membuatnya sering
pusing.
Pun tembakan di perutnya, meninggalkan luka yang membekas dan
terkadang sangat sakit ia rasakan. Namun meskipun demikian, Bram masih
mengontrol jalannya aktivitas da’wah di kampus melalui HPnya. Terkadang para
ikhwah bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan dalam da’wah. Ataupun
sekedar ber-sms untuk bertanya tentang Islam. Dan hal itu sudah menjadi
kebiasaan bagi Andre.
Suatu hari, ada rapat mendesak yang membutuhkan
kehadiran Bram. Walau sang isteri sudah berusaha mencegahnya, namun Bram tetap
bersikeras. Ia dijemput Andre. Dan mereka bersama-sama menuju tempat syuro.
Syuro itu berlangsung satu hari penuh.
Pukul 02.00, Bram tiba di depan
rumah. Ternyata sang isteri tercinta telah menantinya. Bram duduk di kursi tamu,
melepas kepenatan. Sita berjongkok di hadapan Bram dan membukakan kaos kakinya.
“Wah…, Mama .. baik sekali,” ujar Bram dengan nada lembut. Sita terdiam. Ia
menyunggingkan senyum. Entah mengapa, hari ini perasaan Sita tidak enak. Ia
ingin selau berada di dekat suaminya. “Air panasnya sudah siap, Bang…,” Sita
mengambilkan handuk. Bram terduduk di kursi sambil memegang agenda syuro. Ia
segera membersihkan diri malam itu.
Saat subuh menjelang. Suhu badan
Bram sangat tinggi, ia menggigau. Sita panik, tetapi ia tetap berusaha berfikir
jernih. Ia segera menghubungi abang kandungnya yang tinggal tak jauh dari
rumahnya. Mereka lantas bersama-sama membawa Bram pergi ke rumah sakit. Semua
ikhwah menjenguknya. Sudah seminggu Bram ada di rumah sakit. Sita senantiasa
membacakan Al Qur’an di samping Bram. Sakitnya kian
memburuk.
**
Suatu malam di Rumah Sakit... Bram memanggil Sita…
dan memberi isyarat agar Sita mendekat. Sita segera mendekatkan telinganya di
dekat wajah
Bram. Ia berwasiat, “Dek… jaga diri baik-baik. Dirikan
shalat. Jaga anak kita nanti, didik ia menjadi mujahid di jalan Allah,” ujar
Bram. Sita yang kandungannya telah berusia delapan bulan, sudah tak terbendung
lagi air matanya. Ia menangis terisak-isak. Demi mendengar isakan tangis Sita,
Andre terbangun dari tidurnya dan mendekati Bram. Beberapa ikhwan yang tengah
menunggu di luar kamar pasien, juga terbangun. Bram menghadapi sakaratul maut.
Sita dan Andre membimbing Bram agar mengucapkan “Laa illaha ilallah…”, namun
lidah Bram yang setiap harinya memang tak lepas dari zikir, dapat dengan lancar
mengucapkannya.
“Innalilahi wa inna ilaihi raji’un….” Andre
mengucapkannya dengan nada tertahan, ketika tubuh Bram sudah lemas dan terbujur
kaku.
Semua ikhwan yang menyaksikan hal itu, terdiam. Kepala mereka
tertunduk…
Sepeninggal Bram, semua yang dirintisnya membuahkan hasil.
Demi mendengar kisah kegigihannya dalam menegakkan Islam, telah membangkitkan
militansi puluhan aktivis lainnya. Dan dari puluhan aktivis ini, lahirlah
mujahid-mujahid baru. Regenerasi terus berlanjut. Mewariskan nilai-nilai
keislaman yang telah Bram tanamkan di dalam diri teman-temannya. Pun bagi Andre,
Bram adalah sosok teladan yang selau memberi motivasi kepada dirinya.
intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum.
(Tahun 2040)
Kakek itu masih menatap tajam para mahasiswa dan mahasiswi yang ada
di hadapannya. Ia berkata, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi
sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran
manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan merasa lemah. Kita
akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Allah
tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir
tidak menyukainya,” ujarnya.
Kakek itu mengucapkan panjang lebar tentang
arti kemenangan da’wah. Dan tibalah saat sesi tanya jawab. Sang moderator
berkata, “Ya, telah kita dengarkan tausiah-tausiah dari syeikh kita, Syeikh
Andre. Seperti kita ketahui bersama, beliau juga pernah kuliah di kampus ini dan
menjadi salah satu pelopor bangkitnya Islam di kampus kita tercinta. Maka jangan
sia-siakan kesempatan ini untuk bertanya.”
Beberapa orang dengan
serentak, berebutan dan mengangkat tangan untuk bertanya.
Usai acara,
Andre bersiap-siap shalat berjamaah di masjid kampus bersama-sama dengan para
mahasiswa. Ia memandangi perpustakaan yang dulu pernah ia dan Bram susun.
Terlintas kembali kenangan itu, saat Bram berkata kepadanya, “Buku- buku adalah
sumber ilmu.”
Andre kemudian menjadi imam pada shalat Zuhur itu. Ia
membaca surat Muhammad… dengan khusyuk… dan ketika sampai pada ayat
intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum, Andre terisak… Ia mengenal
betul bahwa ayat inilah yang menjadi gerak juang saudaranya, Bram. Usai mengucap
salam, Andre terdiam dan melihat ada Bram, Roy dan Zaid di hadapannya. Bram
tersenyum kepadanya dan Andre membalas senyumnya. Andre menatap ke langit-langit
masjid dan ia melihat makhluk-makhluk yang tak pernah ia lihat sebelumnya, bukan
jin dan bukan pula manusia. Dan beberapa saat kemudian, ia tersungkur di depan
mimbar masjid.
Pak Andre!…. Seru jamaah shalat. Mereka berhamburan dan
membopong tubuh Andre. Dan mendudukkannya.
“Innalillahi wa Inna ilaihi
raji’un…,” seru seorang dari mereka ketika tak ada lagi hembusan nafas dari
Andre…
“Pak Andre belum meninggal, kita bawa beliau ke rumah sakit saja,”
ujar yang lainnya.
Mereka segera membawa Andre ke rumah sakit. Dengan
raut wajah berduka, dokter mengatakan hal yang sama, “Mohon maaf, Pak Andre…
sudah tiada.” Saat itulah semua jamaah tertunduk dan menitikkan air mata,
menangisi kepergian sang mujahid.
***
Ribuan jamaah ikhwan
berduyun-duyun mengantar kepergian syeikh mereka ke tempat peristirahatan.
Langit mendung seakan turut menangisi kepergian mujahid-mujahid Allah di muka
bumi. Bram, Zaid, Roy dan Andre.. Makam mereka terletak berdampingan. Mereka
bertemu karena Allah, saling mencintai karena Allah. Rasulullah SAW bersabda,
"Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang
pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi
dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya
oleh para sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang
saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling
kunjung karena Allah"(HR. Tirmidzi).
Mereka telah mengukir sejarah
perjuangan yang indah. Sesungguhnya dakwah ini akan terus berlanjut hingga hari
kiamat.
Saat semua pengantar Andre telah pulang, ada beberapa pemuda
gagah yang masih tertegun di samping makam-makam itu. Salah seorang dari pemuda
berkata, “Ayah, kami akan meneruskan perjuanganmu, hingga tak ada lagi fitnah
dan agama ini hanya milik Allah…,” ujarnya mantap. (Ayat Al
Akrash) |
|
|
No comments:
Post a Comment