Luruskan niat sempurnakan ikhtiar akhiri dengan tawakal.

Tuesday, 28 August 2012

Kisah Cinta dari Masjid Kampus

Kisah Cinta dari Masjid Kampus
 Oleh : Ayat Al Akrash

Tahun 2040

Seorang kakek-kakek duduk di sebuah sekret rohis kampus. Sekret itu berukuran 3x3 meter. Kecil, tapi sangat nyaman. Lantainya dialasi karpet coklat. Ada lemari file, kaca besar di sampingnya. Buku-buku Islam tersusun rapi di hadapan kakek itu duduk. Jendela terbuka lebar. Terdengar kicauan dari burung yang ada di dalam sangkar. Kerut-kerut di wajahnya sangat kentara. Rambutnya sudah memutih. Ia termenung. Kepalanya tertunduk. Ia tengah memandangi sebuah album foto. Tak jauh darinya, ada setumpuk album foto lainnya. Lama sekali ia memandangi album foto itu.

Seorang mahasiswa berbaju koko, masuk ke sekret dan sebelum duduk di sebelahnya, ia mengucap salam, sambil mengulurkan tangannya, mencium tangan kakek itu dan mencium pipi kiri dan kanan.

“Wa’alaikumsalam Wr Wb,” jawab sang kakek.

Untuk beberapa saat mereka saling terdiam. Kakek itu masih asyik menatapi foto-foto tersebut. Membuka-buka halamannya.

“Saya suka melihat foto-foto ini, dan saya tak kan pernah bosan melihatnya,” ujar kakek itu memecah kesunyian.

Matanya terlihat sayu dan memendam kerinduan yang mendalam. Mahasiswa itu terlihat tak mengerti, tapi kemudian ia berujar, “Ya, Pak saya pernah melihat foto-foto itu, sepertinya orang-orang di dalam foto itu sangat kompak ya.”

Mahasiswa itu mendekat dan ikut melihat foto-foto itu. “Lihatlah ikhwan-ikhwan ini, mereka semua sangat kompak,” kata kakek itu sambil menunjuk sebuah foto dan tiba-tiba wajah kakek itu terlihat sumringah.

“Tahukah kamu,… untuk mewujudkan ikhwan-ikhwan yang kompak seperti ini, ada pengorbanan dari para senior-senior kami dahulu dan juga dari teman-teman kami sendiri,” kakek itu menjelaskan.

Mahasiswa itu kemudian bertanya, “Bapak sendiri yang mana?” “Saya…, yang ini… Bersama teman-teman saya dulu…,” ujar kakek itu sambil menunjuk ke sebuah foto ikhwan yang memakai ikat kepala putih dan slayer biru saat mukhayyam di gunung.

Tiba-tiba pintu sekret terbuka dan ada enam orang ikhwan berbaju koko, memasuki sekret sambil tertawa riang dan bercerita panjang lebar. Begitu melihat kakek itu, mereka segera mengucap salam, dan bersalaman.

“Acaranya baru dimulai 10 menit lagi, Pak,” ujar seorang ikhwan berbaju biru.

“Eh, teman-teman, ini tadi beliau sedang cerita… Ternyata ada foto beliau ketika masih seusia kita, lho” ujar mahasiswa tadi.

“Wah, yang bener yah…,” seru seorang dari mereka.

Mereka berebutan untuk melihat album foto dan mengelilingi kakek itu. Terlihatlah foto-foto para aktivis kampus angkatan 1996. Ikhwan dan akhwatnya terlihat sangat kompak. Puluhan akhwat berjilbab rapi berdiri di belakang para ikhwan yang duduk berjongkok sambil memegang spanduk acara. Dan banyak lagi foto-foto yang serupa. Meski sudah 46 tahun yang lalu, namun foto-foto itu masih terjaga baik. Ya.., karena kakek itu menyimpannya…

Seorang mahasiswa memasuki sekret dan berkata, “Pak, acaranya sudah dimulai.” Mereka semua lalu keluar bersama-sama menuju tempat acara. Kakek itu berjalan menyusuri sepanjang koridor kampus menuju ruangan seminar. Dengan berjalan lambat-lambat, didampingi para mahasiswa. Sepanjang jalan ia disapa oleh setiap mahasiswa yang berpapasan dengannya. Meski kampus swasta, tetapi terlihat lebih mirip pesantren karena hampir semua mahasiswinya berjilbab dan mahasiswanya berbaju koko. Kakek itu hadir sebagai pembicara di sebuah seminar bertema, “Menyikapi Kemenangan Da’wah” yang disambut takbir ribuan peserta ikhwan dan akhwat di kampus itu. Kampus yang telah futuh.

Acara dibuka dengan tilawah dan diawali dengan tampilnya tim nasyid. Ketika tiba saatnya pada materi inti, sang moderator membacakan biodata pembicara. Setelah dipersilahkan untuk menyampaikan materi, kakek itu membukanya dengan basmallah. Ia sempat terdiam sesaat. Dipandanginya aula besar yang berisi ribuan mahasiswa dan mahasiswi. Matanya berkaca-kaca. Ia terkenang akan kenangan masa lalu. Pandangannya nanar.

(Ruangan itu berubah ke tahun 1996)

Di tempat yang sama. Ruangan itu lenggang.

Terdengar suara, “Nanti kita mengadakan seminarnya di ruang ini saja, karena sound systemnya di sini bagus,” ujar Bram kepada teman-temannya. Beberapa teman yang berada di dekatnya mengangguk tanda setuju.

“Tapi, apa tidak terlalu besar ya, Bram … karena pesertanya dikhawatirkan sedikit,” ujar seorang mahasiswi bernama Laras, yang rambutnya diikat ekor kuda.

“Saya pikir, tidak Laras.. Tema seminar kali ini cukup menarik, insya Allah anak-anak mahasiswa baru banyak yang datang, kok.”

Bram bersama tiga temannya berjalan bersama menuju sekret. Di sepanjang jalan menuju kampus, para mahasiswa laki-laki dan perempuan terlihat bercampur baur. Yang mahasiswinya merokok dan mahasiswanya memakai anting. Bahkan ada yang tak malu-malu berpelukan di koridor kampus.

Bram, mahasiswa semester tiga, fakultas ekonomi di sebuah universitas swasta di Jakarta. Rambutnya lurus dibelah tengah, kulitnya sawo matang, postur tubuhnya sedang, badannya tegap, dan jago bela diri Tae Kwon Do. Ia suka memakai celana bahan dan kemeja lengan panjang. Sehingga tampak sekali keikhwanannya. Suaranya yang lembut namun tegas, membuatnya disegani, sehingga ia didaulat menjadi ketua rohis untuk masa periode itu.

Krisis Regenerasi dan Optimisme Bram

Suatu hari, Bang Didit dan Bram membuat janji untuk bertemu di sekret pada pukul 10.00. Di tengah kesunyian sekret, Didit yang notabene adalah DP (Dewan Pembina) senior rohis angkatan ’94, berkata kepada Bram.

“Dek, kondisi angkatan ‘96 seperti ini. Abang sedikit pesimis.”

Bram tertunduk. Ia baru saja diangkat menjadi ketua dari organisasi rohis yang kualitas anggotanya, sangat jauh dari harapan, karena mereka masih belum memiliki sikap teguh pendirian dan masih sedikit jiwa berkorbannya untuk dakwah. Pun masih gemar ber-ikhktilat. Namun jauh di lubuk hatinya, Bram tetap optimis, bahwa bila Allah menghendaki, manusia pasti bisa berubah, pasti bisa….

“Di akhwat juga tidak ada, dek….” tambah Bang Didit, ingin menekankan bahwa hanya Bram yang bisa menjadi motor penggerak dalam organisasi rohis itu. Bram berfikir keras. Amanah berat di pundaknya. Ya…, memang kondisi di kampus ini sangatlah berbeda dibanding SMU-nya yang ada di daerah.

Dulu di SMU, aktivis bertumpuk dan suasananya sudah sangat islami. Tapi kini, tugas yang akan diembannya sangat berat, yang sampai-sampai para DP pun, sudah di ambang pesimisme. Di lubuk hatinya, Bram memegang teguh janji Allah, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum (Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu). Surat Muhammad ayat 7 itu selalu menyemangati dirinya untuk tetap optimis berada di jalan ini. Karena hidayah Allah, siapa yang tahu? Teman-teman pasti bisa berubah….

Andre, Aktivis Da’wah Sekolah (ADS)

Saat tengah duduk-duduk di depan sekret rohis, Bram melihat seorang mahasiswa yang tampaknya seperti ikhwan, menuju tempat wudhu. Dan instingnya seakan memperkuat hal itu.

“Assalaamu’alaikum,” kata Bram.

“Wa’alaikumsalam wr wb,” jawab pemuda berjanggut tipis dan tampan itu.

“Em…, antum Ikhwan, ya?” tembak Bram to the point.

“Saya…… JT,” jawabnya mantap.

“O…. Maaf ya, Assalaaamu’alaikum” ujar Bram malu-malu dan segera ngeloyor pergi kembali ke sekret. Saat Bram berbalik beberapa langkah, pemuda itu memanggilnya. “Eh.., akhi… tunggu, maksud saya … JT itu Jamaah Tarbiyah,” ujarnya sambil tersenyum ramah.

“Ooo…. Alhamdulillah….,” senyum Bram pun mengembang.

Mahasiswa itu bernama Andre, mahasiswa tingkat II yang ternyata ADS juga di SMU-nya. Bram sangat senang mendengar itu. Bram mengajak Andre untuk berkomitmen di jalan dakwah. Bram menjelaskan kondisi rohis kampus yang memprihatinkan. Andre mahasiswa yang cerdas, perawakannya sedang, rambutnya ikal dan kulitnya putih dengan pipi yang kemerah-merahan. Andre mengangguk, “Maka marilah kita berjanji setia untuk berjuang di jalan-Nya,” ujar Andre menyambut ajakan Bram.

Bram tersenyum. Dan mereka berjanji setia untuk senantiasa di jalan Allah. Sejak itu mereka senantiasa selalu bersama dan ikatan cinta diantara mereka sangatlah kuat.

Zaid, Sang Jurnalis

Usai shalat Zuhur, sebelum jamaah bubar, Bram segera maju ke depan, mengambil mic dan memberi kultum di masjid kampus. Ia memulainya dengan basmalah dan membacakan firman Allah SWT QS. Saba’: 46-50. Dengan semangat yang membara, kata-kata yang lugas dan tegas, lidah yang lancar, ia berkata, “Kepada para pemuda yang merindukan lahirnya kejayaan, kepada umat yang tengah kebingungan di persimpangan jalan. Kepada para pewaris peradaban yang kaya raya, yang telah menggoreskan catatan membanggakan di lembar sejarah umat manusia. Kepada setiap muslim yang yakin akan masa depan dirinya sebagai pemimpin dunia dan peraih kebahagiaan di kampung akhirat… "

Para jamaah yang semula hendak bubar, demi mendengar seruan Bram yang menggetarkan jiwa itu, spontan segera menoleh ke arah Bram dan mereka kembali duduk di tempatnya dikarenakan gaya bicara Bram yang sangat menarik.

Bram melanjutkan, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Kita akan membina rumah tangga-rumah tangga kaum muslimin menuju terbangunnya rumah tangga yang islami. Setelah itu, kita akan menempa bangsa kita menjadi bangsa yang muslim, yang tertegak di dalamnya kehidupan masyarakat yang islami. Kita akan meniti langkah-langkah yang sudah pasti, dari awal hingga akhir perjalanan. Kita akan mencapai sasaran yang digariskan Allah bagi kita, bukan yang kita paksakan untuk diri kita. Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,” seru Bram.

“Kita pun akan mengetahui bahwa sesungguhnya memisahkan agama dari politik itu bukan dari ajaran Islam. Pemisahan itu tidak pernah dikenal oleh kaum muslimin yang jujur dalam beragama dan paham akan ruh ajarannya. Sesungguhnya agama ini adalah agama, ibadah, dan tanah air, …..”

Andre memperhatikan para jamaah. Dan ada beberapa jamaah yang terlihat sangat antusias dengan seruan Bram. Andre mendekati seorang pemuda. Setelah mengucapkan salam, mereka berkenalan.

“Saya Andre.”

Pemuda itu membalas senyum Andre dan berkata, “Saya Zaid.”

“Zaid, nama yang bagus sekali seperti sahabat yang menjadi sekretaris nabi."

“Iya, engkau benar,” jawab Zaid.

“Bagaimana menurutmu tentang orang di depan itu?” tanya Andre.

“Em.., bagus sekali dan saya tertarik untuk menuliskannya di koran saya,” jawab Zaid.

Andre mengerutkan keningnya. “Anda jurnalis?”

“Ya, saya jurnalis di koran kampus.”

Sesaat Andre baru sadar, bahwa Zaid mengenggam pena dan membawa sebuah note book kecil di tangannya. Setelah mengobrol panjang lebar, Bram berkata, “Emm…Kalau begitu bagaimana kalau engkau mengaji bersama-samaku.”

“Mengaji?”

"Ya, kita akan mengaji dan mengkaji lebih dalam lagi apa yang dikatakan mahasiswa itu.”

“Ya… Tentu.., “ jawab Zaid setelah berpikir beberapa saat.

Mahasiswa Baru

Ospek untuk menyambut mahasiswa baru angkatan ’97 digelar di kampus tersebut. Pakaian mereka putih dan hitam. Dengan rambut diikat pita tiga, ratusan mahasiswa baru telah berkumpul di lapangan. Suasana sangat ramai. Para aktivis dari BEM dan Himpunan berjaket almamater telah bersiap-siap. Dan para aktivis rohis tengah mempersiapkan tempat shalat untuk shalat Zuhur.

Di bawah panas terik matahari, ratusan Mahasiswa Baru duduk di lapangan dan mendengarkan instruksi dari para senior, tak jarang kata-kata kotor keluar dari mulut mereka. Bram jengah mendengarnya. Sudah mahasiswa tapi intelektualitsnya justru minus, pikirnya.

Semua mahasiswa baru, dikumpulkan di lapangan kampus.

“Siapa yang tidak bawa atribut lengkap, cepat maju ke depan dalam hitungan tiga! Kalau tidak, terima sendiri akibatnya!” seru sang senior berjaket almamater biru. Ia mulai menghitung. Beberapa junior maju ke depan. Bram berjaket almamater dan memandangi para mahasiswa baru untuk berjaga-jaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang mahasiswi baru, berjilbab putih. Ia seperti mengingat-ingat sesuatu…. Itu.. seperti.. seperti…. Sita! Sita sudah berjilbab…? Bram terdiam dan pikirannya melayang dengan kejadian setahun lalu.

Saat itu.. ketika ia masih kelas 3 SMU….

“Saya tidak bisa meneruskan hubungan kita, dek… Kita akhiri sampai di sini saja…..,” ujar Bram pada seorang adik kelas yang tak lain adalah kekasihnya.

“Tapi.., kenapa? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja, Bang…” jawab Sita dengan memandang lekat-lekat wajah laki-laki yang sangat dicintainya itu. Air mata Sita sudah tak terbendung lagi.

“Maafkan saya, dek… tetapi saya bukanlah Bram yang dulu lagi. Saya sudah memikirkan ini masak-masak, saya ingin berubah…”

Sita dan Bram duduk berdua di pinggir lapangan basket SMU. Mereka saling terdiam beberapa saat dan memandangi pintu gerbang SMU mereka yang sudah mulai sepi. Langit berwarna merah. Rambut lurus Bram tertiup angin yang sepoi-sepoi. Azan maghrib sebentar lagi berkumandang.

“Apa yang membuat abang berubah? Padahal dua hari lalu, abang katakan bahwa kita akan selalu bersama, apakah engkau sudah melupakan kata-kata abang sendiri…,” Suara Sita terdengar parau.

Sesungguhnya jauh di lubuk hati Bram, sangatlah berat melepas Sita. Tapi.. ., ada yang jauh lebih ia cintai dari wanita yang berambut sebahu itu… Mengatakan perpisahan inipun sangat sulit baginya. Tapi.. tapi.. ia harus bisa karena ada yang lebih ia harapkan dari Sita, yaitu… ampunan dan rahmat Allah. Ia tak dapat memungkiri bahwa hatinya gelisah luar biasa bila berdekatan dengan Sita, seakan dosa yang terus menggunung tinggi.

Azan Maghrib berkumandang.

Bram tersigap, ia bangkit dari duduknya dan berkata, “Sudah azan, saya mau shalat. Shalat yuk.., dek…,” ajak Bram. Sita memandang Bram dengan tatapan penuh keheranan…dan bertanya-tanya dalam hati.. sejak kapan Bram shalat? Bukankah ia sendiri yang sering mengatakan tak suka dengan anak-anak rohis……

“Abang saja yang shalat, Sita nanti aja,” jawab Sita enggan. Bram dan Sita saling berpandangan, lama sekali. Seakan banyak isi hati yang terucapkan lewat tatapan mata mereka. Hati Bram bergemuruh. Qomat berkumandang dari masjid sekolah. Bram menundukkan pandangannya, dan berkata,

“Saya shalat…” Ia membawa tas ranselnya dan menuju masjid sekolahnya. Sita tertunduk dan air mata mengalir di pipinya yang kemerah-merahan.

Usai shalat Maghrib, Bram termenung sesaat… Hatinya sedih luar biasa, ia tahu, pasti Sita saat ini sedang menangis. Apakah ia harus menemui

Sita lagi dan menenangkannya, seperti yang selama ini ia lakukan. ”Aku di sini untukmu.” Kata –kata itulah yang sering ia ucapkan bila Sita bersedih. Tetapi kini.. apakah ia harus menemuinya dan mengatakannya lagi.. Ah.., tidak.. Aku sudah bertekad, aku harus berubah! Harus!. Ya Allah.., istiqomahkanlah aku di jalan-Mu. Bram memanjatkan doa dengan hati bersungguh-sungguh. Tak terasa ia menitikan air mata. Ikatan yang sudah terjalin sejak mereka SMP, harus pupus di tengah jalan. Biarlah… biarlah .. kita menangis saat ini Sita, daripada kita menangis di akhirat nanti. Bram lebih memilih jalan untuk menjauhi apa yang namanya pacaran. Dan ia berkomitmen untuk selalu berada di jalan para nabi ini….

Bram menyenandungkan syair nasyid Izzatul Islam

Selamat tinggal wahai dunia duka dan
selamat datang wahai dunia iman
Burung yang patah sayapnya tak akan mati karena lukanya
Wahai hatiku yang sedih perangainya
Sungguh kesedihan itu teah meninggalkan diriku
Kan terbang aku ke dunia cinta
Karena Aku muslim yang membumbung dengan iman
Gelarku adalah muslim dan itu cukup bagiku
Dibawah naungan agama aku hidup
Untuk menebus keislamanku yang nyaris sirna


**

“Assalaamu’alaikum, Bram… Nanti tempat wudhunya gimana?” tanya teman rohisnya, Andre. Kehadiran Andre membuyarkan lamunan Bram, “Oh.. eh.. Wa’alaikumsalam, itu sudah disiapkan, jadi nanti yang mahasiswanya wudhu di dekat gedung K,” jawab Bram mantap. Andre mengangguk dan meninggalkan Bram usai mendapat jawaban itu. Bram beristighfar dan segera kembali mempersiapkan atribut shalat, seperti spanduknya dan lain-lain. Bram bergumam, intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum.

Bram duduk di masjid usai shalat Zuhur. Ia dan teman-temannya bersiap-siap menyambut mahasiswa baru. Ia memandangi orang-orang yang shalat. Dan dari kejauhan ia melihat seorang mahasiswa baru yang tengah duduk. Bram menghampirinya dan mengucapkan salam. Mahasiswa baru berambut plontos itu menjawab salam sambil tersenyum ramah.

“Sudah shalat?” tanya Bram padanya.

“Sudah, Bang… lagi nunggu temen, dia belum selesai,” jawabnya sedikit malu-malu. Bram lalu berkenalan lebih jauh dengan mahasiswa yang ternyata benama Andi itu. Bram berkata, “Nanti kapan-kapan kamu main ke sekret rohis aja.”

“Ke sekret? Ngapain Bang,” tanya Andi heran.

“Ya maen aja, belum penah ke sekret rohis, kan?” Bram kembali mengajak.

Dan kali ini Andi mengiyakan dan berjanji akan mengunjungi sekret rohis. Andi berpamitan setelah temannya usai shalat. Mereka berlari menuju kelas.

Bram Bersama Teman-Teman

Selama kepengurusannya, Bram melakukan gebrakan-gebrakan da’wah. Dan ia memprioritaskan da’wah di atas segalanya. Totalitas Perjuangan. Ia persembahkan untuk meninggikan kalimatullah. Bram, Andre dan Zaid bekerjasama untuk berda’wah kepada para mahasiswa baru, pun kepada teman-teman mereka sendiri.

Bram mencarikan ustadz agar mereka dapat mengkaji Islam bersama. Ini akan menjadi menthoring pertama dalam organisasi ini. Sejak itu, mereka bertiga mengadakan pertemuan mingguan bersama seorang ustadz.

Saat kuliah, Bram, Andre dan Zaid ada di kelas yang bersebelahan. Mereka dapat dengan mudah berkoordinasi bila ada teman-teman Da’wah Fardiyah. Semuanya mereka rencanakan dengan baik. Hingga akhirnya terekrutlah beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi, untuk semakin mengokohkan barisan da’wah.

Perpustakaan Masjid

Bram memasuki masjid dan melihat banyak sekali buku-buku Islam yang tak terawat. “Buku-buku adalah sumber ilmu,” ujar Bram ketika mengajak Andre untuk mendata buku-buku tersebut.

Jumlah buku Islam itu ada 500 buku. Mereka berdua mencatat nama buku, pengarangnya, dan penerbitnya. Lalu membuat nomor-nomor buku, kemudian menempelkannya di setiap buku. Selama sebulan lebih Bram dan Andre melakukan itu. Bram bersyukur karena ada Andre yang bersedia membantunya.

“Kapan nih selesai bukunya, kok ngga’ selesai-selesai,” ujar seorang anggota rohis saat memasuki sekret. Ia hanya membaca beberapa buku, dan kemudian meletakkannya.

“Makanya, bantuin dong, biar cepet selesai,” ujar Andre sedikit kesal.

Karena Andre tahu, Bram yang paling banyak berperan dalam mengurusi buku-buku itu, dan ia tidak rela bila orang hanya bicara saja tanpa membantu. Bram hanya terdiam mendengar itu. Berapa banyak orang yang sanggup bicara, tetapi sedikit yang mengerjakannya. Dan berapa banyak orang yang mau mengerjakannya, tetapi mau serius dan berkorban untuk melakukannya.

Setelah satu bulan, pendataan buku-buku itu pun selesai. Bram dan Andre meletakkannya di perpustakaan masjid. Mereka segera membuat kartu perpustakaan, sehingga para mahasiswa dapat meminjamnya. Dan dapat beredarlah fikrah kita.

Pengorbanan

Bram, Andre dan Zaid terkejut sesaat, tetapi kemudian memberikan selamat kepada Laras, karena ia baru saja berjilbab. Laras tersipu-sipu, dan dari lubuk hatinya, Laras yakin bahwa inilah jalan yang lurus, jalan yang benar, jalan yang Dia ridhoi. Dengan jilbab ini, Laras berjanji untuk senantiasa di jalan ini…

Sekret rohis itu dikunjungi oleh mahasiswa dan mahasiswi. Di sekret akhwat, sangatlah ramai oleh canda tawa para mahasiswi, sampai-sampai suara mereka terdengar di sekret ikhwan. Andre kerap kali mengetuk jendela akhwat, agar tidak terlalu berisik. Bila sudah demikian, para akhwat dan mahasiswi yang ada di dalam hanya tersenyum tertahan. Andre hanya geleng-geleng kepala.

Dan di sekret ikhwan pun tak jauh berbeda. Bahkan mereka bermain bola di dalam sekret. Andre hanya geleng-geleng kepala (lagi). Tetapi Bram memang tidak mencegah hal itu dan membiarkannya karena anggota yang baru bergabung tidak bisa dipaksa langsung berubah total.

Di dalam sekret itu, diadakan jadwal kultum harian. Setiap orang mendapat giliran. Laras membuat jadwal di akhwat, dan Andre membuat jadwal di ikhwan. Tilawah dan kajian, juga menjad agenda mingguan.

Kala maghrib menjelang, ketika tak ada seorangpun di lingkungan sekret. Bram masuk ke sekretnya. Dan ia membereskan sekret yang berantakan. Hampir setiap hari ia melakukan itu, karena pengkondisian sekret bagi Bram sangat penting. Kebersihan adalah sebagian dari iman. Bagaimana mungkin hidayah Allah akan turun bila tempat ini berantakan…, gumam Bram. Untuk saat ini, ia belum bisa meminta teman-temannya untuk melakukan tugas ini, karena banyak yang menolak. Dan Bram memaklumi hal ini. Ia menyapu lantai, merapihkan buku-buku, membuang sampah-sampah, dan memasang mading ataupun menempel tausiah-tausiah di sekret.

Menghadapi Kristenisasi

Sita bergabung dengan rohis kampus. Namun Sita yang sekarang, bukanlah Sita yang dulu, karena kini ia telah berjilbab rapi dan ia sudah membuang jauh-jauh kenangannya bersama Bram. "Ya Allah, aku ada di sini karena Engkau. Semoga Engkau luruskan niat-niat kami di jalan-Mu,” doa Sita di setiap shalat malamnya.

“Aduh, gimana yah, temen gue ada yang mau keluar dari Islam,” kata Anita, teman sekelas Sita, suatu hari.

“Hah? yang bener?” seru Sita. Sewaktu di SMU ia juga pernah menemui kristenisasi di SMU-nya.

“Iya, tapi Sita jangan bilang siapa-siapa ya, rahasia,” ujar Anita yang celana jinsnya robek-robek di bagian lututnya. Anita berkata itu dengan mimik serius dan rokok mengepul dari mulutnya. Sita hanya mengangguk-angguk.

Pakai jilbab, mau murtad? Tubuh Sita seakan limbung mendengar itu. Haruskah ia kehilangan lagi saudara muslim lagi. Sewaktu di SMU ia pernah menghadapi hal yang sama, pemurtadan dan saat itu teman SMU-nya murtad karena diiming-imingi harta. Sita segera membuka-buka kembali buku kristologinya. Ia membenahi jilbab putihnya. Argumen-argumen apa yang harus ia sampaikan kepada seseorang yang mau murtad. Ia mencatat semuanya dalam selembar kertas dan esok paginya, ia sudah siap dengan argumennya.

Namun Sita tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia menceritakan hal itu kepada orang yang ia percaya, yang notabene pasti tak mengenal Anita. Hal ini terdengar di telinga Bram, ketua rohis, bahwa ada kristenisasi di kampus.

Saat rapat rohis, Bram berkata, “Kita mendapat laporan dari atas, bahwa di kampus kita terjadi kristenisasi.” Sita tertunduk dalam mendengarnya.

“Sebaiknya hal seperti ini tidak disembunyikan, karena bila sampai terjadi pemurtadan, dapat mencoreng wajah da’wah kita di kampus ini,” tambah Bram dengan tegas. Bram masih menunggu ikhwah yang sebenarnya mengetahui hal ini.

Sitapun akhirnya angkat bicara, “Ya, sebaiknya kita mencari kristolog untuk membantu akhwat ini, karena kabarnya, dia mendapat ancaman juga dari kekasihnya yang Kristen, akh…” Hm.., Bram akhirnya tahu siapa orangnya.

“Ya, sebaiknya begitu…,” jawab Bram.

Para ikhwah mempersiapkan agenda bersama agar mahasiswi tersebut tidak murtad. Lima akhwat, diantaranya Sita dan Laras, melakukan aksi detektif. Mereka ingin mengetahui dahulu wajah sang mahasiswi yang berkudung gaul tersebut. Kejar-kejaran dari belakang. Bersembunyi kala ia menoleh. Sesekali para akhwat tersenyum bersama. Setelah mahasiswi itu berhasil diidentifikasikan, akhirnya Sita menjadi duta untuk melakukan dialog dengannya.

Bram terus memantau perkembangannya dari hari ke hari. Dan dari Anita, Sita mengetahui bahwa mahasiswi tersebut membatalkan niatnya untuk berpindah agama dari bujukan pemuda Kristen tersebut, karena agama adalah yang paling utama. Allahu Akbar! Misi detektif akhwat selesai.

Riska, Namanya

Pagi hari. Di ruang kelas. Para mahasiswa tengah menunggu datangnya dosen Pengantar Akuntansi 2. Bram segera masuk ruang kelas. Dan duduk di baris kedua. Ia membuka buku Akuntansinya dan melihat-lihat lembaran buku merah tersebut. Ia tak memperhatikan bahwa sedari tadi ada mahasiswi yang mengamati dirinya. Bram menoleh ke arah kanannya dan melihat mahasiswi manis, bercelana jins, baju jungkis dan berambut keriting tengah menatapnya. Bram segera melemparkan senyumnya. Mahasiswi itu membalas senyumnya. “Kamu anak rohis ya?” tanya mahasiswi itu.

“Iya, saya Bram,” jawab Bram memperkenalkan diri.

“Riska."

“Saya dari dulu pengen ikut rohis nih, tapi bisa ngga’ ya?” ujar Riska.

“O… tentu aja bisa. Kamu maen aja ke sekret rohis,” jawab Bram. Tiba-tiba dosen masuk dan menghentikan obrolan Bram dan Riska. Kuliah berlangsung selama 2 jam.

Usai kuliah, Bram mengajak Riska untuk berkunjung ke sekret rohis. Bram memperkenalkan Riska kepada beberapa akhwat rohis. Di dalam sekret,

Riska melihat-lihat sekeliling sekret yang isinya begitu banyak buku-buku Islam.

“Sejak kapan kamu pakai jilbab?” tanya Riska pada Sita.

“Emm…, kelas 3 SMU, Mbak.”

“Wah, baru pakai ya?”

“Iya”

“Dulu dapat halangan ngga’ dari orangtua?” tanya Riska lagi.

“Iya, dulu mintanya susah sekali. Tapi dengan berusaha, akhirnya orang tua mengizinkan,” jawab Sita.

Riska mengangguk-anggukkan kepala. Mereka kemudian membicarakan banyak hal, mulai dari keluarga sampai seputar wanita. Riska mengakui bahwa wawasan Islam Sita sangat baik.

Pers Kampus

Zaid, semenjak bergabung dengan rohis, ia menggunakan kemampuan menulisnya untuk meninggikan kalimatullah. Tulisannya menghiasi media cetak kampus. Ia mampu menciptakan tulisan-tulisan yang universal, yang dapat diterima oleh kalangan dosen maupun mahasiswa. Sehingga Al Haq dapat tersampaikan. Dan ia kerap kali meliput kegiatan-kegiatan rohis dan memasukkannya ke koran kampus. Dengan ini, perlahan tapi pasti, terciptalah opini publik yang Islami lingkungan kampus tersebut.

Tidak hanya itu, kemampuannya itu ia teruskan kepada teman-teman dan junior-juniornya. Misinya dalam jangka panjang adalah membentuk pers kampus. Bram pun turut men-support keberadaan pers Islam ini. Hingga terbentuklah satu divisi baru, yaitu Divisi Jurnalis. Yang bertugas mem-blow up kegiatan-kegiatan rohis dan menggalang opini publik.

Bram Membangkitkan Semangat Teman-Teman

Sekret ikhwan dan akhwat terpisah. Letaknya ada di belakang masjid kampus itu. Para aktivis ini tengah mempersiapkan acara sebagai follow up dari penyambutan mahasiswa baru. Mereka melakukan rapat. Hanya ada 8 orang, yaitu Zaid, Bram, Andre, Andi, Riska, Laras, Sita dan Riska. Tak jarang mereka harus pulang malam untuk melakukan rapat-rapat. Bahkan kuliah bagi mereka adalah nomor dua. Yang utama adalah da’wah. Namun meskipun demikian, mereka semua tetap berprestasi dalam kuliahnya, dengan IPK minimal 3. Karena mereka memiliki motto, “Ikhwah sejati harus ber-IPK minimal 3!”

Bram selalu menjadi motor setiap event-event keislaman di kampus. Ia senantiasa memotivasi teman-temannya untuk tetap istiqomah di jalan ini. Dan di dalam sebuah organisisi, bukannya tanpa masalah, tetapi Bram dan teman-temannya berusaha memiimalisirnya, karena ukhuwah yang utama.

**

Roy Bergabung dengan Rohis

Di kosnya, Bram memandang langit malam yang dihiasi bintang-bintang. Langit terang oleh cahaya bulan purnama… Lama sekali ia menatap langit…

Terbayang di matanya… akhlak para mahasiswa di kampusnya yang merosot. Semua itu berkelebat dahsyat di pikirannya.

Saat itulah, teman satu kosnya yang sedang menonton TV, menekan channel berita Metro TV, “Korban kembali jatuh di Palestina, bom bunuh diri dilakukan oleh Wafa Idris, wanita Palestina yang membawa bom. Tiga orang tentara Israel tewas dan puluhan lainnya luka-luka.” Bram segera berlari menuju TV mendengar berita itu. ketika melihat TV…, Innalillah… sampai seorang wanita yang harus maju untuk berperang, kata Bram. Mata

Bram berkaca-kaca menyaksikan suasana di Palestina. Terlihat, Ambulance menolong korban luka-luka orang-orag Israel.

“Eh…, kenapa loe..?” tanya Roy, teman satu kosnya.

“Roy …, Kamu tahu…., Palestina itu tempat apa?” tanya Bram pada Roy yang tengah menghisap sepuntung rokok.

"Palestina kan di Arab sana,” jawabnya cuek. Bram menggeleng.

“Di Palestina ada Masjid Al Aqsha, itu adalah kiblat pertama kita dan sekarang diinjak-injak oleh zionis Israel, sudah sejak tahun 1948, sejak perjanjian Balfour,” ujar Bram dengan serius.

Roy mengangguk-angguk, terbengong-bengong…”Ooh… begitchu yah..”

Bram terbangun dari tidurnya. Ia termenung sejenak. Dilihatnya, pukul 02.00 dini hari. Ia mengambil air wudhu dan shalat malam. Dalam shalat malamnya, ia membaca surat Al Anfal, lama sekali… Roy yang kamarnya ada di sebelah Bram, tengah sibuk membuat program web site. Di depan internetnya ia meng-up load postnuke dari situs. Jari-jarinya bergerak cepat. Sesekali ia membuka situs porno, dan terkekeh sendiri. Rokok di tangan kirinya dan ada Majalah porno pula di tangan kanannya. Roy keluar dari kamarnya saat mendengar suara orang menangis terisak-isak. Roy keluar dari kamarnya dengan kaos oblong dan rambut yang berdiri dan acak-acakan.

Ia melihat ke dalam kamar yang pintunya terbuka sedikit. Bram sedang shalat. Kepala Roy tertunduk… Dan ia masuk kembali ke kamarnya. Di dalam kamarnya, ia memandangi majalah pornonya, dan dilemparnya majalah itu ke lantai. Ditutupnya semua situs yang ia browse sedari tadi. Ia mengambil sebuah buku yang sudah berdebu, Al Qur’an. Roy teringat kata-kata Bram…”Di Palestina ad Masjid Al Aqsha, itu tempat qiblat pertama kita…” terngiang-ngiang kata-kata itu. Dan terbayang pula senyum manis Bram saat ia sering mengajaknya untuk shalat ke masjid dan biasanya Roy menolaknya mentah-mentah, tetapi Bram senantiasa bersabar mengajaknya. Dibersihkannya Al Qur’an itu dari debu dengan tangannya. Dibukanya pada surat mana saja… Dan yang terbuka olehnya adalah Surat Ar Rahman “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?” Roy membacanya.. indah sekali ayat ini.

Bram bangun di pagi hari. Dan bersiap-siap untuk shalat Subuh di masjid. Bram terkejut ketika Roy mengikutinya dari belakang… Dengan malu-malu,

Roy berkata, ‘‘Kenapa? Gue mau ke masjid juga, tidak boleh?”

“Eh.. boleh.. tentu saja boleh…," Bram cepat-cepat membuang keterkejutannya itu dan mereka melangkah bersama menuju masjid di dekat kosan mereka.

Usai shalat, Bram membuka buku kecil berwarna hijau.

“Itu apa? Gue liat loe sering bawa buku itu,” tanya Roy.

‘‘Ini… Ini namanya Al Ma’tsurat, zikirnya Rasulullah SAW yang dibaca setiap pagi dan petang,” jelas Bram.

“Gitu yah? Boleh ngga’ gue baca,” tanya Roy lagi.

“Boleh, kita baca bareng-bareng aja ya. Nih…” ujar Bram menyerahkan buku itu.

“Loh, terus loe baca pake apa?”

“Insya Allah saya sudah hafal…,” kata Bram.

“Oooo….” Roy mengangguk-angguk. Mereka membacanya bersama-sama hingga matahari menampakkan cahayanya.

Di dalam kamarnya, Roy memandangi ruangannya yang berantakan seperti kapal pecah. Ia terdiam sesaat dan dengan segera membersihkan dan membereskan kamarnya. Sapu, lap pel, ada di tangannya. Ia mencopot semua poster-poster band kesayangannya. Buku-buku porno ia kumpulkan.

Seketika, kamarnya bersih dan mengkilat hingga ke kaca-kaca jendela. Ia keluar dari kamar dan diluar ia menyalakan api… dilemparnya semua buku porno itu ke dalam api. Roy tersenyum penuh kemenangan.

Roy menyisir rapi rambutnya yang lurus dan dibelah tengah. Ia melepas anting yang setia di telinga kananya. Ia merapikan janggutnya dan memakai wangi-wangian. Penampilannya menjadi lebih rapi.

SEMINAR AKBAR, KEMENANGAN

Andre yang notabene adalah Ketua Departemen Syi’ar, menjadi Ketua pula dalam acara seminar yang akan digelar. Ia membentuk struktur panitia.

Acara ini tergolong besar, karena akan melibatkan dosen dan mahasiswa. Target pencapaian adalah 500 peserta. Itu berarti peserta akan memenuhi ruang auditorium di kampus tersebut.

Zaid, yang ahli dalam membuat tulisan, membuat sebuah artikel yang sangat bagus akan pentingnya seminar ini. Ia memasukkannya dalam koran kampus yang memang independen, sehingga ia tak mendapatkan halangan yang berarti.

Roy pun memanfaatkan keahliannya dalam dunia maya dengan menjaring massa melalui dunia cyber. Ia menggunakan email, mailis, situs, Yahoo Messenger dan Friendster untuk menyebarkan berita ini. Dan tulisan-tulisan Zaid ia muat dalam setiap pesannya dalam internet. Bram, yang memiliki karisma dalam dirinya, mengajak para dosen untuk berpartisipasi dalam acara seminar ini. Ia menggunakan cara-cara yang ahsan dan menawan hati.

Sita, Laras dan Riska menjalankan amanahnya mengajak para muslimah untuk hadir dalam seminar. Mereka kerap mempublikasikannya dalam kajian keputrian yang setiap minggunya dihadiri oleh tak kurang dari 50 muslimah, di setiap Jum’at.

Dalam mempersiapkan kegiatan ini, tak jarang, Andre dan teman-temannya harus pulang malam untuk mengadakan rapat-rapat. Dan di siang hari, mereka aktif mencari sponsor demi terselenggaranya kegiatan. Lelah. Inilah yang dirasakan Andre dan jajaran kepanitiaanya.

“Kamu kenapa?” Bram seakan menangkap kegalauan hati saudaranya yang tengah termenung di sekret rohis. Ia memperhatikan bahwa Andre sedikit melemah semangat dakwahnya. Andre hanya terdiam.

“Ingat…, disana.. di Pelestina.., saudara-saudara kita tengah berjuang. Apa yang kita lakukan di sini, belumlah seberapa dibandingkan mereka,” ujar Bram sambil menatap dalam kepada Andre. Andre merasa malu, karena Bram mengetahui kegalauan hatinya. Dan ucapan Bram itu seakan menjadi air sejuk di tengah kegersangan hatinya.

Hari H pun akhirnya datang. Andre melakukan briefing kepada panitia, saat pagi hari. Tiket telah terjual habis, bahkan masih ada yang ingin memesan tiket. Dan diperkirakan ruangan akan melebihi kapasitas. “Semoga Allah selalu meluruskan niat-niat kita saat menapaki jalannya. Hadir di sini semata-mata karena Allah,” ujar Andre untuk memotivasi panitia. Seluruh sie melaporkan tugasnya. Cek dan ricek.

Ticketing di depan ruangan seminar telah bersiap-siap. Semua anggota rohis memakai jaket almamater. Mereka bak tentara-tentara Allah yang bersiap-siap di posnya masing-masing. Acara ini mendapat sambutan yang sangat baik dari para dosen, pun mahasiswa. Para mahasiswa berbondong-bondong tertarik untuk mengikuti program menthoring yang diselenggarakan oleh rohis.

Kesolidan Antar Departemen

Bram dan Andre telah menyiapkan 20 menthor. Menthoring diadakan untuk mendidik seorang muslim agar akidahnya bersih, akhlaknya solid, ibadahnya benar, pikirannya intelek, tubuhnya kuat, mampu memanfaatkan waktu, dan bermanfaat bagi orang lain. Dari seminar itu, paling tidak, terbentuklah 20 kelompok menthoring, yang masing-masing kelompok, ada 8 orang. Itu berarti ada 160 orang yang terekrut melalui seminar tersebut.

Karena kesolidan Departemen Pengembangan Sumber Daya Muslim (DPSDM) dan Departemen Syi’ar, maka proses rekruitmen dan pembinaan berjalan lancar. Bram, Roy, Zaid dan Andre hanya bisa mengucap hamdalah akan kemenangan ini.

Berbondong-Bondong Berjilbab

Sita tengah sibuk mendata barang-barang di sekret. Pintu sekret terbuka dan… Sita melihat rok panjang berwarna hitam. Ia mendongak ke atas dan terlihatlah wajah Riska yang sedang tersenyum malu-malu dengan jilbab putihnya. Untuk sesaat Sita terperangah, dan kemudian cepat-cepat tersadar dan memberikan selamat kepadanya. Sita memeluk Riska erat sekali. Alhamdulillah… ujarnya.

Semenjak itu, bagaikan kartu domino. Mahasiswi yang lainpun berjilbab. Selama sebulan, sudah ada 20 orang yang berjilbab. Bahkan sampai muncul istilah ditengah-tengah mereka bahwa ada “Taubat massal.”

Suasana sekret akhwat kian ramai dihiasi canda tawa para akhwat. Tak jarang mereka melakukan aksi smack down, antar mereka. Mereka semua bersama-sama membantu gerak da’wah. Dan Andre senantiasa mengetuk jendela akhwat agar tidak terlalu berisik. Hi..hi..hi… para akhwat bukannya diam, tetapi semakin ramai. Andre hanya geleng-geleng kepala. Dan Bram tersenyum melihat sikap Andre.

Persiapan Dauroh

Rohis mengadakan dauroh (pelatihan) yang merupakan alur terakhir dari organisasi tersebut. Bram, Andre, Zaid dan Roy melakukan survey di daerah Gunung Bunder. Mereka berempat memakai ikat kepala putih dan membawa ransel besar. Persiapan untuk naik gunung.

Mereka telah mempersiapkan dauroh ini selama satu bulan lebih. Waktu, tenaga, pikiran dan juga uang, mereka korbankan demi terselenggaranya kegiatan dauroh tersebut. Jalur-jalur yang akan dilalui peserta, mereka beri tanda. Namun tak terasa, malam telah menjelang. Dan sesuatu yang aneh terjadi, mereka tak bisa menemukan jalan pulang. Padahal seharusnya jalan yang dilalui tidaklah terlalu sulit. Mereka kembali menyusuri jalan. Hawa dingin dan malam yang pekat. Hanya berbekal dua senter.

Pukul 22.00. Mereka kemudian sadar bahwa sedari tadi hanya berputar-putar di satu tempat. Bram berkata, “Sepertinya ini sudah bukan dunia manusia lagi, sebaiknya kita membaca ayat kursi.” Andre, Roy dan Zaid mengiyakan. Dan sepanjang perjalanan, mereka membaca ayat kursi. Dengan doa, zikir dan tawakal, mereka akhirnya dapat turun gunung dengan selamat. Allahu Akbar!

Dauroh ini diikuti oleh 160 orang peserta. Mukhayyam selama 3 hari 2 malam. Tenda-tenda dibangun sendiri oleh peserta. Ikhwan dan akhwat berlomba mendirikan tenda masing-masing. Dauroh ini diisi dengan out bond, ceramah dan aneka games. Mendaki gunung. Dan yel-yel kelompok yang semakin menyemarakkan suasana.

Usai kegiatan, mereka semua berfoto bersama dengan pakaian penuh lumpur. Wajah puluhan ikhwan terlihat sangat gembira, dengan ikat kepala putih dan slayer biru. Para ikhwan berfoto sendiri dan berbaris rapi. Dan puluhan akhwatpun berfoto sendiri di tempat lainnya. Jilbab-jilbab mereka yang rapi, berkibar tertiup angin gunung. Mereka semua terlihat sangat kompak. Andre mengabadikan event itu dengan kameranya.

Bram Menikah

Bram bercerita pada Andre bahwa ia akan menggenapkan setengah diennya dan Insya Allah dalam waktu dekat. Andre turut bahagia mendengar penuturan saudaranya itu. Namun Bram sendiri belum tahu siapa orangnya, karena ia percaya sepenuhnya kepada pilihan ustadznya. Mendengar itu, Andre percaya bahwa Allah akan memberi yang terbaik untuk Bram.

Seminggu kemudian Bram mendapat sebuah amplop dari ustadznya. Dengan hati berdebar, namun tetap tenang, ia membuka biodata sang akhwat. Bram termangu membaca nama calonnya itu… Sita Anggraini… Ya Rabbi… Sungguh tak akan lari gunung di kejar, gumam Bram.

Di tempat lain…, Sita juga menerima amplop dari murabbiyahnya dengan perasaan tenang. Ketika ia membuka dan membaca nama calonnya…. Bram Adhiyaksa…, Sita setengah berbisik menyebut nama itu. Ya Rabbi…

Proses ta’aruf (perkenalan) Bram dan Sita berlangsung singkat. Bram datang meminang ke rumah Sita. Pernikahan berlangsung sederhana dan menggunakan hijab yang berupa tanaman-tanaman. Puluhan aktivis rohis datang pada acara yang sangat bersejarah dalam kehidupan manusia itu.

Lagu-lagu nasyid diputar saat itu. Bram yang gemar dengan nasyid Izzis dan Shoutul Harakah terpaksa harus menggantinya dengan nasyid yang slow, karena tak mungkin di hari perhikahannya ia memutar nasyid genderang perang.

Keluarga Pejuang

“Jika bapak-bapak, anak-anak, suadara-saudara, istri-istri kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih baik kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya (dari) berjihad di jalan-Nya. Maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.” (QS. 9:24). Suatu hari Bram merasa gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00.

Dia katakan pada Sita, "Dek…, kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam dakwah. Apa pantas sesudah dakwah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan dakwah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya, tapi kita pun cinta Allah". Bram pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari.

Aksi 12 Mei

Kepada para mahasiswa yang merindukan kejayaan
Kepada rakyat yang kebingungan di persimpangan jalan
Kepada pewaris peradaban yang telah menggoreskan,
Sebuah catatan kebanggaan di lembar sejarah manusia
Wahai kalian yang rindu kemenangan
Wahai kalian yang turun ke jalan
Demi mempersembahkan jiwa dan raga
Untuk negeri tercinta


Rasulullah SAW bersabda, “Di hari kiamat, Allah akan menaungi pemuda yang berani mengatakan yang haq di depan penguasa yang zalim.”

Berlandaskan hadits ini, aksi-aksi mahasiswa marak di berbagai daerah di tanah air.

Dan Aksi 12 Mei. Aktivis rohis yang bergabung, berjumlah dua ratus orang lebih. Bram ikut memimpin gerakan mahasiswa untuk merobohkan rezim

Soeharto yang telah berkuasa selama 32 tahun. Bram dan aktivis rohis lainnya, mendesain sebuah aksi turun ke jalan, untuk kali yang pertama.

Namun tak disangka, aparat bersikap repsesif. Mahasiswa berlari ke dalam kampus menyelamatkan diri dari tembakan aparat. Bram yang berada di depan terkena tembakan peluru di perutnya. Seorang Satgas dari Senat berhasil menariknya ke dalam kampus sebelum sempat dipukuli oleh aparat.

Dan yang terjadi selanjutnya mirip dengan perjuangan intifadah rakyat Palestina. Dimana mahasiswa berusaha mempertahankan diri dengan melemparkan batu, botol aqua dan apa saja yang bisa dipungut di jalan kepada aparat yang bersenjata api.

Balasan yang 'sangat amat baik sekali' dari aparat keamanan. Tiap kali terdengar letusan senapan yang keras dan menggetarkan kaca-kaca di

Gedung M, massa mahasiswa spontan berteriak 'Allahu Akbar'. Mahasiswa yang tidak kuat menahan emosi berteriak-teriak istighfar dan mengutuk perbuatan aparat bermoral binatang. Karena bantuan alat-alat medis yang kurang, korban dibawa ke Gedung I.

Inna Lillahi Wa Ina Lillahi Roji'un, mahasiwa yang sedang berbaring ini sudah tidak bernyawa. “Tidak ada nafasnya!” seru seorang rekan ketika tidak merasakan aliran nafas dari hidungnya. Tidak kuat menahan emosi yang sedang terjadi, beberapa mahasiswa beristighfar menyebut nama Allah Swt, dan lainnya menyerukan untuk mengadakan pembalasan, sebagian lagi berusaha menahan emosi rekannya. "Tidak ada gunanya dilawan", "Jangan ada korban lagi", semuanya mundur, rekan kita sudah ada yang meninggal, Mundur semua!” jerit beberapa rekan mahasiwa.

Mahasiswa-mahasiwa yang berada di barisan depan terus melempari petugas dan berteriak-teriak histeris. Kabar kematian rekan mahasiswa tampaknya malah membakar emosi mahasiswa barisan depan tersebut.

Bram Meninggal

Bram dalam kondisi kritis. Darah mengalir deras. Teman-teman segera membawanya ke rumah sakit. “Bram…. Bram….,” panggil Andre dengan wajah sangat cemas. Bram melihat wajah Andre, semula jelas… namun pandangannya kabur dan semuanya menjadi gelap.

Sudah satu bulan Bram ada di rumah sakit. Banyak aktivis yang menjenguknya. Dan pada minggu ke enam, Bram sudah diperbolehkan pulang ke rumah.

Namun sejak penembakan itu, Bram tak bisa lagi berjalan seperti biasa. Karena pukulan keras di kepalanya dari aparat, membuatnya sering pusing.

Pun tembakan di perutnya, meninggalkan luka yang membekas dan terkadang sangat sakit ia rasakan. Namun meskipun demikian, Bram masih mengontrol jalannya aktivitas da’wah di kampus melalui HPnya. Terkadang para ikhwah bertanya tentang apa yang harus mereka lakukan dalam da’wah. Ataupun sekedar ber-sms untuk bertanya tentang Islam. Dan hal itu sudah menjadi kebiasaan bagi Andre.

Suatu hari, ada rapat mendesak yang membutuhkan kehadiran Bram. Walau sang isteri sudah berusaha mencegahnya, namun Bram tetap bersikeras. Ia dijemput Andre. Dan mereka bersama-sama menuju tempat syuro. Syuro itu berlangsung satu hari penuh.

Pukul 02.00, Bram tiba di depan rumah. Ternyata sang isteri tercinta telah menantinya. Bram duduk di kursi tamu, melepas kepenatan. Sita berjongkok di hadapan Bram dan membukakan kaos kakinya. “Wah…, Mama .. baik sekali,” ujar Bram dengan nada lembut. Sita terdiam. Ia menyunggingkan senyum. Entah mengapa, hari ini perasaan Sita tidak enak. Ia ingin selau berada di dekat suaminya. “Air panasnya sudah siap, Bang…,” Sita mengambilkan handuk. Bram terduduk di kursi sambil memegang agenda syuro. Ia segera membersihkan diri malam itu.

Saat subuh menjelang. Suhu badan Bram sangat tinggi, ia menggigau. Sita panik, tetapi ia tetap berusaha berfikir jernih. Ia segera menghubungi abang kandungnya yang tinggal tak jauh dari rumahnya. Mereka lantas bersama-sama membawa Bram pergi ke rumah sakit. Semua ikhwah menjenguknya. Sudah seminggu Bram ada di rumah sakit. Sita senantiasa membacakan Al Qur’an di samping Bram. Sakitnya kian memburuk.

**

Suatu malam di Rumah Sakit... Bram memanggil Sita… dan memberi isyarat agar Sita mendekat. Sita segera mendekatkan telinganya di dekat wajah

Bram. Ia berwasiat, “Dek… jaga diri baik-baik. Dirikan shalat. Jaga anak kita nanti, didik ia menjadi mujahid di jalan Allah,” ujar Bram. Sita yang kandungannya telah berusia delapan bulan, sudah tak terbendung lagi air matanya. Ia menangis terisak-isak. Demi mendengar isakan tangis Sita, Andre terbangun dari tidurnya dan mendekati Bram. Beberapa ikhwan yang tengah menunggu di luar kamar pasien, juga terbangun. Bram menghadapi sakaratul maut. Sita dan Andre membimbing Bram agar mengucapkan “Laa illaha ilallah…”, namun lidah Bram yang setiap harinya memang tak lepas dari zikir, dapat dengan lancar mengucapkannya.

“Innalilahi wa inna ilaihi raji’un….” Andre mengucapkannya dengan nada tertahan, ketika tubuh Bram sudah lemas dan terbujur kaku.

Semua ikhwan yang menyaksikan hal itu, terdiam. Kepala mereka tertunduk…

Sepeninggal Bram, semua yang dirintisnya membuahkan hasil. Demi mendengar kisah kegigihannya dalam menegakkan Islam, telah membangkitkan militansi puluhan aktivis lainnya. Dan dari puluhan aktivis ini, lahirlah mujahid-mujahid baru. Regenerasi terus berlanjut. Mewariskan nilai-nilai keislaman yang telah Bram tanamkan di dalam diri teman-temannya. Pun bagi Andre, Bram adalah sosok teladan yang selau memberi motivasi kepada dirinya. intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum.

(Tahun 2040)
Kakek itu masih menatap tajam para mahasiswa dan mahasiswi yang ada di hadapannya. Ia berkata, “Wahai pemuda! Kalian tidak lebih lemah dari generasi sebelum kalian, yang dengan perantaraan mereka Allah membuktikan kebenaran manhaj ini. Oleh karenanya, janganlah merasa resah dan jangan merasa lemah. Kita akan menempa diri, sehingga setiap kita menjadi seorang muslim sejati. Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir tidak menyukainya,” ujarnya.

Kakek itu mengucapkan panjang lebar tentang arti kemenangan da’wah. Dan tibalah saat sesi tanya jawab. Sang moderator berkata, “Ya, telah kita dengarkan tausiah-tausiah dari syeikh kita, Syeikh Andre. Seperti kita ketahui bersama, beliau juga pernah kuliah di kampus ini dan menjadi salah satu pelopor bangkitnya Islam di kampus kita tercinta. Maka jangan sia-siakan kesempatan ini untuk bertanya.”

Beberapa orang dengan serentak, berebutan dan mengangkat tangan untuk bertanya.

Usai acara, Andre bersiap-siap shalat berjamaah di masjid kampus bersama-sama dengan para mahasiswa. Ia memandangi perpustakaan yang dulu pernah ia dan Bram susun. Terlintas kembali kenangan itu, saat Bram berkata kepadanya, “Buku- buku adalah sumber ilmu.”

Andre kemudian menjadi imam pada shalat Zuhur itu. Ia membaca surat Muhammad… dengan khusyuk… dan ketika sampai pada ayat intanshurullah yan shurkum wa yutsabbit aqdamakum, Andre terisak… Ia mengenal betul bahwa ayat inilah yang menjadi gerak juang saudaranya, Bram. Usai mengucap salam, Andre terdiam dan melihat ada Bram, Roy dan Zaid di hadapannya. Bram tersenyum kepadanya dan Andre membalas senyumnya. Andre menatap ke langit-langit masjid dan ia melihat makhluk-makhluk yang tak pernah ia lihat sebelumnya, bukan jin dan bukan pula manusia. Dan beberapa saat kemudian, ia tersungkur di depan mimbar masjid.

Pak Andre!…. Seru jamaah shalat. Mereka berhamburan dan membopong tubuh Andre. Dan mendudukkannya.

“Innalillahi wa Inna ilaihi raji’un…,” seru seorang dari mereka ketika tak ada lagi hembusan nafas dari Andre…

“Pak Andre belum meninggal, kita bawa beliau ke rumah sakit saja,” ujar yang lainnya.

Mereka segera membawa Andre ke rumah sakit. Dengan raut wajah berduka, dokter mengatakan hal yang sama, “Mohon maaf, Pak Andre… sudah tiada.” Saat itulah semua jamaah tertunduk dan menitikkan air mata, menangisi kepergian sang mujahid.

***

Ribuan jamaah ikhwan berduyun-duyun mengantar kepergian syeikh mereka ke tempat peristirahatan. Langit mendung seakan turut menangisi kepergian mujahid-mujahid Allah di muka bumi. Bram, Zaid, Roy dan Andre.. Makam mereka terletak berdampingan. Mereka bertemu karena Allah, saling mencintai karena Allah. Rasulullah SAW bersabda, "Di sekitar Arsy ada menara-menara dari cahaya. Di dalamnya ada orang-orang yang pakaiannya dari cahaya dan wajah-wajah mereka bercahaya. Mereka bukan para Nabi dan syuhada’, tetapi para Nabi dan Syuhada’ iri pada mereka. "Ketika ditanya oleh para sahabat, Rosulullah saw menjawab, "Mereka adalah orang-orang yang saling mencintai karena Allah, saling bersahabat karena Allah, dan saling kunjung karena Allah"(HR. Tirmidzi).

Mereka telah mengukir sejarah perjuangan yang indah. Sesungguhnya dakwah ini akan terus berlanjut hingga hari kiamat.

Saat semua pengantar Andre telah pulang, ada beberapa pemuda gagah yang masih tertegun di samping makam-makam itu. Salah seorang dari pemuda berkata, “Ayah, kami akan meneruskan perjuanganmu, hingga tak ada lagi fitnah dan agama ini hanya milik Allah…,” ujarnya mantap. (Ayat Al Akrash)

Hudzaifah.org

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...