Kata Muharram secara bahasa, berarti diharamkan. Abu ‘Amr ibn Al ‘Alaa berkata, “Dinamakan bulan Muharram karena peperangan(jihad) diharamkan pada bulan tersebut”(1);
jika saja jihad yang disyariatkan lalu hukumnya menjadi terlarang pada
bulan tersebut maka hal ini bermakna perbuatan-perbuatan yang secara
asal telah dilarang oleh Allah Ta’ala memiliki penekanan pengharaman
untuk lebih dihindari secara khusus pada bulan ini. Pada bulan ini Allah
melarang umatnya untuk tidak melakukan perbuatan yang dilarang-Nya.
Seperti misalnya berperang, seperti yang telah dilakukan oleh
orang-orang kuraisy sebelum datangnya agama Islam.
2. Beberapa Keutamaan Bulan Muharram
a. Bulan Muharram Merupakan Salah Satu Diantara Bulan-Bulan Haram
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا
فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا
يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu
dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya
sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya
Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (Q.S. at Taubah :36).
Pada ayat ini menerangkan kepada kita
bahwa setelah penciptaan langit dan bumi Allah menciptakan bulan yang
berjumlah 12 bulan yang mana bulan tersebut merupakan bulan tahun
Hijriah. Dalam bulan-bulan tersebut terdapat 4 bulan yang paling
istimewa diantara bulan yang lainnya, salah satunya adalah bulan
Muharram. Pada bulan Muharram Allah mengharamkan umat islam melakukan
perbuatan yang dilarang, (membunuh, berperang). Tetapi disana juga
menjelaskan bahwa orang muslim harus memerangi orang kafir yang selalu
mengajak kepada kehancuran. Yang dilakukan orang kafir, adalah bukan
karena ingin merampas harta seperti yang dilakukan sebelum datangnya
islam, merebut kekuasaan, balas dendam seperti yang telah dialami ketika
umat islam mengusir orang kafir untuk meninggalkan Makkah dan Madinah,
tetapi mereka menginginkan agama Islam hancur.
Salah seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’in yang bernama Qatadah bin Di’amah Sadusi rahimahulloh menyatakan, “Amal
sholeh lebih besar pahalanya jika dikerjakan di bulan-bulan haram
sebagaimana kezholiman di bulan-bulan haram lebih besar dosanya
dibandingkan dengan kezholiman yang dikerjakan di bulan-bulan lain
meskipun secara umum kezholiman adalah dosa yang besar”(2).
Disinilah yang menjadi pokok pada bulan
Muharram, bahwa diharamkan umat-Nya melakukankan berperang atau membunuh
pada bulan-bulan istimewa tersebut, karena apabila melanggarnya, maka
dosanya akan dilipat gandakan dari bulan-bulan yang lain. Dengan adanya
larang tersebut berarti Allah juga akan memberikan pahala bagi umat-Nya
yang mengerjakan alaman seperti yang disunahkan.
Dalam hadis yang diriwayatkan dari
sahabat Abu Bakrah radhiyallohu anhu, Rasulullah shallallohu ‘alaihi
wasallam menjelaskan keempat bulan haram yang dimaksud :
إِنَّ الزَّمَانَ قَدْ
اسْتَدَارَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ خَلَقَ اللَّهُ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضَ
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ثَلَاثٌ
مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ
مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
“Sesungguhnya zaman itu berputar sebagaimana bentuknya semula di waktu Allah menciptakan langit dan bumi. Setahun itu ada dua belas bulan diantaranya terdapat empat bulan yang dihormati : 3 bulan berturut-turut; Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram serta satu bulan yang terpisah yaitu Rajab Mudhar, yang terdapat diantara bulan Jumada Akhiroh dan Sya’ban.” [ HR. Bukhari (3197) dan Muslim(1679) ]
Para ulama bersepakat bahwa keempat bulan
haram tersebut memiliki keutamaan dibandingkan dengan bulan-bulan yang
lain selain Ramadhan, namun demikian mereka berbeda pendapat, bulan
apakah yang paling afdhal diantara keempat bulan haram yang ada ? Imam
Hasan Al Bashri rahimahulloh dan beberapa ulama lainnya berkata, “Sesungguhnya
Allah telah memulai waktu yang setahun dengan bulan haram (Muharram)
lalu menutupnya juga dengan bulan haram (Dzulhijjah) dan tidak ada bulan
dalam setahun setelah bulan Ramadhan yang lebih agung di sisi Allah
melebihi bulan Muharram” (3).
b. Bulan Muharram disifatkan sebagai Bulan Allah
Kedua belas bulan yang ada adalah makhluk
ciptaan Allah, akan tetapi bulan Muharram meraih keistimewaan khusus
karena hanya bulan inilah yang disebut sebagai “syahrullah” (Bulan
Allah). Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda :
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram. Sedangkan shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat malam”.[ H.R. Muslim (11630) dari sahabat Abu Hurairah radhiyallohu anhu]
Hadits ini mengindikasikan adanya
keutamaan khusus yang dimiliki bulan Muharram karena disandarkan kepada
lafzhul Jalalah (lafazh Allah). Para Ulama telah menerangkan bahwa
ketika suatu makhluk disandarkan pada lafzhul Jalalah maka itu mengindikasikasikan tasyrif (pemuliaan) terhadap makhluk tersebut, sebagaimana istilah baitullah (rumah Allah) bagi mesjid atau lebih khusus Ka’bah dan naqatullah (unta Allah) istilah bagi unta nabi Sholeh ‘alaihis salam dan lain sebagainya.
Al Hafizh Abul Fadhl Al ‘Iraqy
rahimahulloh menjelaskan, “Apa hikmah dari penamaan Muharram sebagai
syahrulloh (bulan Allah) sementara seluruh bulan milik Allah ? Mungkin
dijawab bahwa hal itu dikarenakan bulan Muharram termasuk diantara
bulan-bulan haram yang Allah diharamkan padanya berperang, disamping itu
bulan Muharram adalah bulan perdana dalam setahun maka disandarkan
padanya lafzhul Jalalah (lafazh Allah) sebagai bentuk pengkhususan
baginya dan tidak ada bulan lain yang Nabi Muhammad shallallohu alaihi
wasallam sandarkan kepadanya lafzhul Jalalah melainkan bulan Muharram” (4)
As Suyuthi mengatakan: Dinamakan
syahrullah – sementara bulan yang lain tak mendapat gelar ini – karena
nama bulan ini “Al Muharram” nama nama islami. Berbeda dgn bulan-bulan
lainnya. Nama-nama bulan lainnya sudah ada di zaman jahiliyah. Sementara
dulu, orang jahiliyah menyebut bulan Muharram ini dgn nama : Shafar
Awwal. Kemudian ketika islam datanng, Allah ganti nama bulan ini dgn Al
Muharram, sehingga nama bulan ini Allah sandarkan kepada dirinya
(Syahrullah). (5)
Bulan ini juga sering dinamakan:
Syahrullah Al Asham (Bulan Allah yang Sunyi). Dinamakan demikian, karena
sangat terhormatnya bulan ini (6). karena itu, tak boleh ada sedikitpun riak & konflik di bulan ini.
3. Amalan Yang Dianjurkan di Bulan Muharram
Sebagaimana telah disebutkan di atas dari
perkataan Qatadah rahimahulloh bahwa amalan sholeh dilipatgandakan
pahalanya di bulan-bulan haram, dengan demikian secara umum segala jenis
kebaikan dianjurkan untuk diperbanyak dan ditingkatkan kualitasnya di
bulan Muharram. Adapun ibadah yang dianjurkan secara khusus pada bulan
ini adalah memperbanyak puasa sunnah sebagaimana yang telah disebutkan
dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallohu ‘anhu,
beliau berkata Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama
setelah Ramadhan adalah puasa di bulan Allah (yaitu) Muharram dan shalat
yang paling utama setelah puasa wajib adalah sholat lail” [ HR. Muslim(11630) ]
Mulla Al Qari’ menyebutkan bahwa hadits
di atas sebagai dalil anjuran berpuasa di seluruh hari bulan Muharram.
Namun ada satu masalah yang kadang ditanyakan berkaitan dengan hadits
ini yaitu, ‘Bagaimana memadukan antara hadits ini dengan hadits yang
menyebutkan bahwa Nabi shallallohu alaihi wasallam memperbanyak puasa di
bulan Sya’ban yang menjadi bulannya Allah, bukan di bulan Muharram?
Imam Nawawi rahimahullah telah menjawab pertanyaan ini, beliau
mengatakan boleh jadi Rasulullah shallallohu alaihi wasallam belum
mengetahui keutamaan puasa Muharram kecuali di akhir hayat beliau atau
mungkin ada saja beberapa udzur yang menghalangi beliau untuk
memperbanyak berpuasa di bulan Muharram seperti beliau mengadakan safar
atau sakit (7).
Kemudian anjuran berpuasa di bulan Muharram ini lebih dikhususkan dan ditekankan hukumnya pada hari yang dikenal dengan istilah Yaumul ‘Asyuro,
yaitu pada tanggal sepuluh bulan Muharram (‘asyuro). ‘Asyuro berasal
dari kata ‘Asyarah yang berarti sepuluh. Pada hari ‘Asyuro ini,
Rasulullah shallahu alaihi wasallam mengajarkan kepada umatnya untuk
melaksanakan satu bentuk ibadah dan ketundukan kepada Allah Ta’ala yaitu
ibadah puasa, yang kita kenal dengan puasa Asyuro.
Adapun hadis-hadis yang menjadi dasar
ibadah puasa tersebut banyak, kami akan sebutkan diantaranya dengan
pengklasifikasian sebagai berikut:
Kaum Yahudi juga berpuasa di hari Asyuro bahkan menjadikannya sebagai Ied (hari raya)
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى
اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ
فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam. tiba di Madinah, beliau
melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘ Asyura, maka Beliau
bertanya : “Hari apa ini?. Mereka menjawab, “Ini adalah hari istimewa,
karena pada hari ini Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuhnya,
Karena itu Nabi Musa berpuasa pada hari ini. Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian“. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan shahabatnya untuk berpuasa di tahun yang akan datang. [H.R. Bukhari (1865) dan Muslim(1910) ]
Hadis lain menjelaskan:
عَنْ أَبِي مُوسَى رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ
الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صُومُوهُ أَنْتُمْ
Dari Abu Musa radhiyallohu anhu berkata,
“Hari ‘Asyuro adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan mereka
menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah shallallohu alaihi
wasallam bersabda (kepada ummatnya), “Berpuasalah kalian (pada hari itu)” [HR. Bukhari (1866) dan Muslim(1912), lafal hadits ini menurut periwayatan imam Muslim)
Kaum Quraiys di zaman Jahiliyah juga
berpuasa Asyuro dan puasa ini diwajibkan atas kaum muslimin sebelum
kewajiban puasa Ramadhan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي
الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَصُومُهُ فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِينَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ
بِصِيَامِهِ فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ
شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ . متفق عليه.
Dari Aisyah radhiyallohu anha berkata,
Kaum Qurays pada masa Jahiliyyah juga berpuasa di hari ‘Asyuro dan
Rasulullah shallallohu alaihi wasallam juga berpuasa pada hari itu,
ketika beliau telah tiba di Medinah maka beliau tetap mengerjakannya dan
memerintahkan ummatnya untuk berpuasa. Setelah puasa Ramadhan telah
diwajibkan beliau pun meninggalkan (kewajiban) puasa ‘Asyuro, seraya
bersabda, “Barangsiapa yang ingin berpuasa maka silakan tetap berpuasa dan barangsiapa yang tidak ingin berpuasa maka tidak mengapa” [ HR. Bukhari (1863) dan Muslim(1897) ]
عن عَبْد اللَّهِ بْن عُمَرَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا
يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَامَهُ وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْتَرَضَ
رَمَضَانُ فَلَمَّا افْتُرِضَ رَمَضَانُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ عَاشُورَاءَ يَوْمٌ مِنْ أَيَّامِ
اللَّهِ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ (رواه مسلم)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallohu
anhuma bahwa kaum Jahiliyah dulu berpuasa Asyuro dan Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam serta kaum muslimin juga berpuasa sebelum
diwajibkan puasa Ramadhan, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
bersabda, “Sesungguhnya hari ‘Asyuro termasuk hari-hari Allah,
barangsiapa ingin maka berpuasalah dan siapa yang ingin meninggalkan
maka boleh” [ HR. Muslim(1901) ]
Perhatian Rasulullah shallallohu alaihi
wa sallam dan para sahabat ridwanullohi alaihim ajmain yang begitu besar
terhadap puasa ‘Asyuro
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا
هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ
رَمَضَانَ
“Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallohu alaihi wasallam, berupaya keras untuk puasa pada suatu hari melebihi yang lainnya kecuali pada hari ini, yaitu hari ‘Asyura dan bulan ini yaitu Ramadhan.” [ H.R. Bukhari (1867) dan Muslim(1914) ]
عَنْ الرُّبَيِّعِ بِنْتِ
مُعَوِّذِ بْنِ عَفْرَاءَ قَالَتْ أَرْسَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ الَّتِي
حَوْلَ الْمَدِينَةِ مَنْ كَانَ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ
وَمَنْ كَانَ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ فَكُنَّا
بَعْدَ ذَلِكَ نَصُومُهُ وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا الصِّغَارَ مِنْهُمْ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ وَنَذْهَبُ إِلَى الْمَسْجِدِ فَنَجْعَلُ لَهُمْ
اللُّعْبَةَ مِنْ الْعِهْنِ فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ
أَعْطَيْنَاهَا إِيَّاهُ عِنْدَ الْإِفْطَارِ
Dari Rubai’ bintu Mu’awwidz bin ‘Afra’
radhiyallohu ‘anha berkata, Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam di
pagi hari Asyuro mengutus ke perkampungan kaum Anshar yang berada di
sekitar Medinah (pesan), “Barangsiapa yang tidak berpuasa hari itu
hendaknya menyempurnakan sisa waktu di hari itu dengan berpuasa dan
barangsiapa yang berpuasa maka hendaknya melanjutkan puasanya”.
Rubai’ berkata, “Maka sejak itu kami berpuasa pada hari ‘Asyuro dan
menyuruh anak-anak kami berpuasa dan kami buatkan untuk mereka permainan
yang terbuat dari kapas lalu jika salah seorang dari mereka menangis
karena ingin makan maka kami berikan kepadanya permainan tersebut hingga
masuk waktu berbuka puasa” [ HR. Bukhari (1960) dan Muslim (1136), redaksi hadits ini menurut periwayatan Imam Muslim ]
5. Keutamaan Puasa Asyuro
عَنْ أَبِي قَتَادَةَ رضي
الله عنه أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ إِنِّي أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ
يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
Dari Abu Qatadah radhiyallohu anhu bahwa Nabi Muhammad shallallohu alaihi wasallam bersabda, “Puasa hari ‘Asyuro aku berharap kepada Allah akan menghapuskan dosa tahun lalu” [ HR.
Tirmidzi (753), Ibnu Majah (1738) dan Ahmad(22024). Hadits semakna
dengan ini juga diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shohih beliau
(1162) ]
a. Bagi yang ingin berpuasa ‘Asyuro hendaknya berpuasa juga sehari sebelumnya
Ibnu Abbas radhiyallohu ‘anhuma berkata :
Ketika Rasulullah shallallohu alaihi wasallam berpuasa pada hari
‘Asyura dan memerintahkan kaum muslimin berpuasa, mereka (para shahabat)
menyampaikan, “Ya Rasulullah ini adalah hari yang diagungkan Yahudi dan
Nasrani”. Maka Rasulullah shallallohu alaihi wasallam pun bersabda:
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ
يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Jika tahun depan insya Allah (kita bertemu kembali dengan bulan Muharram), kita akan berpuasa juga pada hari kesembilan (tanggal sembilan).“
Akan tetapi belum tiba Muharram tahun depan hingga Rasulullah shallallohu alaihi wasallam wafat di tahun tersebut [ HR. Muslim (1134) ]
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ صُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ وَخَالِفُوا الْيَهُودَ
Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma beliau berkata, “Berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh Muharram, berbedalah dengan orang Yahudi” [Diriwayatkan dengan sanad yang shohih oleh Baihaqi di As Sunan Al Kubro (8665) dan Ath Thobari di Tahdzib Al Aatsaar(1110)]
b. Hukum Berpuasa Sehari Sesudah ‘Asyuro (tanggal 11 Muharram)
Imam Ibnu Qoyyim dalam kitab Zaadul
Ma’aad setelah merinci dan menjelaskan riwayat-riwayat seputar puasa
‘Asyuro, beliau menyimpulkan : Ada tiga tingkatan berpuasa ‘Asyuro: Urutan pertama;
dan ini yang paling sempurna adalah puasa tiga hari, yaitu puasa
tanggal sepuluh ditambah sehari sebelum dan sesudahnya (9,10,11). Urutan kedua; puasa tanggal 9 dan 10. Inilah yang disebutkan dalam banyak hadits . Urutan ketiga, puasa tanggal 10 saja (8).
Kesimpulan Ibnul Qayyim di atas didasari dengan sebuah hadits dari Ibnu
Abbas radhiyallohu anhuma, Rasulullah shallallohu alaihi wasallam.
bersabda :
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَخَالِفُوا فِيهِ الْيَهُودَ صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا
“Puasalah pada hari Asyuro, dan
berbedalah dengan Yahudi dalam masalah ini, berpuasalah sehari
sebelumnya atau sehari sesudahnya.“ [HR. Imam Ahmad(2047), Ibnu Khuzaimah(2095) dan Baihaqi (8667)]
Namun hadits ini sanadnya lemah, Asy
Syaikh Al Albani rahimahulloh menyatakan, “Hadits ini sanadnya lemah
karena salah seorang perowinya yang bernama Muhammad bin Abdurrahman bin
Abi Laila jelek hafalannya, selain itu riwayatnya menyelisihi riwayat
‘Atho bin Abi Rabah dan selainnya yang juga meriwayatkan dengan sanad
yang shohih bahwa ini adalah perkataan Ibnu Abbas radhiyallohu anhuma
sebagaimana yang disebutkan oleh Thahawi dan Baihaqi (9).
Dalam pandangan yang lain, hadist yang
lemah boleh dilaksanakan, hal ini dikarenakan untuk memperkuat keimanan
dan ketakwaan umat-Nya. Bereda dengan hadist yang menjelaskan tentang
syari’at. Maka hadist yang lemah tidak diperbolehkan untuk dijadikan
sebagai landasan atau dasar.
Namun demikian puasa sebanyak tiga hari (9,10,dan 11 Muharram) dikuatkan oleh para ulama dengan dua alasan:
1) Sebagai kehati-hatian, yaitu
kemungkinan penetapan awal bulannya tidak tepat, maka puasa tanggal
sebelasnya akan dapat memastikan bahwa seseorang mendapatkan puasa
Tasu’a (tanggal 9) dan Asyuro (tanggal 10).
2) Dimasukkan dalam puasa tiga hari pertengahan bulan (Ayyamul bidh).
Adapun puasa tanggal 9 dan 10,
pensyariatannya dinyatakan dalam hadis yang shahih, dimana Rasulullah
shallallohu alaihi wasallam pada akhir hidup beliau sudah merencanakan
untuk puasa pada tanggal 9, hanya saja beliau wafat sebelum
melaksanakannya. Beliau juga telah memerintahkan para shahabat untuk
berpuasa pada tanggal 9 dan tanggal 10 agar berbeda dengan ibadah
orang-orang Yahudi.
Sedangkan puasa pada tanggal sepuluh
saja; sebagian ulama memakruhkannya, meskipun sebagian ulama yang lain
memandang tidak mengapa jika hanya berpuasa ‘Asyuro (tanggal 10) saja,
wallohu a’lam. Secara umum, hadits-hadis yang terkait dengan puasa
Muharram menunjukkan anjuran Rasulullah shallallohu alaihi wasallam
untuk melakukan puasa, sekalipun hukumnya tidak wajib tetapi sunnah
muakkadah (sangat dianjurkan), dan tentunya kita sepatutnya berusaha
untuk menghidupkan sunnah yang telah banyak dilalaikan oleh kaum
muslimin.
Keterangan:
- Tarikh Ad Dimasyq 1/51
- Tafsir Al Baghawi dan Tafsir Ibn Katsir
- Lathoif Al Ma’arif hal 36
- Hasyiah As Suyuthi ‘ala Sunan An Nasaai
- Syarh Suyuthi ‘Ala shahih Muslim, 3/252
- Lathaif al-Ma’arif, hal. 34
- Al Minhaj Syarah Shohih Muslim bin Hajjaj
- Zaadul Ma’aad 2/63
- Ta’liq Shohih Ibn Khuzaimah (3/290)
No comments:
Post a Comment