Saudariku, Apa yang Menghalangimu untuk Berjilbab? (1)
Saudariku…
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.
Seorang mukmin dengan mukmin lain ibarat cermin. Bukan cermin yang memantulkan bayangan fisik, melainkan cermin yang menjadi refleksi akhlak dan tingkah laku. Kita dapat mengetahui dan melihat kekurangan kita dari saudara seagama kita. Cerminan baik dari saudara kita tentulah baik pula untuk kita ikuti. Sedangkan cerminan buruk dari saudara kita lebih pantas untuk kita tinggalkan dan jadikan pembelajaran untuk saling memperbaiki.
Saudariku…
Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi dirimu?
Tentu engkau sudah mengetahui bahwa Islam mengajarkan kita untuk saling mencintai. Dan salah satu bukti cinta Islam kepada kita –kaum wanita– adalah perintah untuk berjilbab. Namun, kulihat engkau masih belum mengambil “kado istimewa” itu. Kudengar masih banyak alasan yang menginap di rongga-rongga pikiran dan hatimu setiap kali kutanya, “Kenapa jilbabmu masih belum kau pakai?” Padahal sudah banyak waktu kau luangkan untuk mengkaji ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perintah jilbab. Sudah sekian judul buku engkau baca untuk memantapkan hatimu agar segera berjilbab. Juga ribuan surat cinta dari saudarimu yang menginginkan agar jilbabmu itu segera kau kenakan. Lalu kenapa, jilbabmu masih terlipat rapi di dalam lemari dan bukan terjulur untuk menutupi dirimu?
Mengapa Harus Berjilbab?
Mungkin aku harus kembali mengingatkanmu tentang alasan penting
kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan perintah jilbab kepada kita
–kaum Hawa- dan bukan kepada kaum Adam. Saudariku, jilbab adalah pakaian
yang berfungsi untuk menutupi perhiasan dan keindahan dirimu, agar dia
tidak dinikmati oleh sembarang orang. Ingatkah engkau ketika engkau
membeli pakaian di pertokoan, mula-mula engkau melihatnya, memegangnya,
mencobanya, lalu ketika kau jatuh cinta kepadanya, engkau akan meminta
kepada pemilik toko untuk memberikanmu pakaian serupa yang masih baru
dalam segel. Kenapa demikian? Karena engkau ingin mengenakan pakaian
yang baru, bersih dan belum tersentuh oleh tangan-tangan orang lain.
Jika demikian sikapmu pada pakaian yang hendak engkau beli, maka
bagaimana sikapmu pada dirimu sendiri? Tentu engkau akan lebih
memantapkan ‘segel’nya, agar dia tetap ber’nilai jual’ tinggi, bukankah
demikian? Saudariku, izinkan aku sedikit mengingatkanmu pada firman Rabb
kita ‘Azza wa Jalla berikut ini,
“Katakanlah kepada wanita-wanita beriman: ‘Hendaklah mereka
menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah
mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya.’” (Qs. An-Nuur: 31)
Dan firman-Nya,
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)
“Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ‘Hendaklah mereka menjulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenali, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Qs. Al-Ahzaab: 59)
Saudariku tercinta, Allah tidak semata-mata menurunkan perintah
jilbab kepada kita tanpa ada hikmah dibalik semuanya. Allah telah
mensyari’atkan jilbab atas kaum wanita, karena Allah Yang Maha
Mengetahui menginginkan supaya kaum wanita mendapatkan kemuliaan dan
kesucian di segala aspek kehidupan, baik dia adalah seorang anak,
seorang ibu, seorang saudari, seorang bibi, atau pun sebagai seorang
individu yang menjadi bagian dari masyarakat. Allah menjadikan jilbab
sebagai perangkat untuk melindungi kita dari berbagai “virus” ganas yang
merajalela di luar sana. Sebagaimana yang pernah disabdakan oleh Abul
Qasim Muhammad bin ‘Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang artinya,
“Wanita itu adalah aurat, jika ia keluar rumah, maka syaithan akan menghiasinya.”
(Hadits shahih. Riwayat Tirmidzi (no. 1173), Ibnu Khuzaimah (III/95)
dan ath-Thabrani dalam Mu’jamul Kabiir (no. 10115), dari Shahabat
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma)
Saudariku, berjilbab bukan hanya sebuah identitas bagimu untuk
menunjukkan bahwa engkau adalah seorang muslimah. Tetapi jilbab adalah
suatu bentuk ketaatanmu kepada Allah Ta’ala, selain
shalat, puasa, dan ibadah lain yang telah engkau kerjakan. Jilbab juga
merupakan konsekuensi nyata dari seorang wanita yang menyatakan bahwa
dia telah beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Selain itu, jilbab juga merupakan lambang kehormatan, kesucian, rasa
malu, dan kecemburuan. Dan semua itu Allah jadikan baik untukmu.
Tidakkah hatimu terketuk dengan kasih sayang Rabb kita yang tiada duanya
ini?
“Aku Belum Berjilbab, Karena…”
1. “Hatiku masih belum mantap untuk berjilbab. Jika hatiku sudah
mantap, aku akan segera berjilbab. Lagipula aku masih melaksanakan
shalat, puasa dan semua perintah wajib kok..”
Wahai saudariku… Sadarkah engkau, siapa yang memerintahmu untuk
mengenakan jilbab? Dia-lah Allah, Rabb-mu, Rabb seluruh manusia, Rabb
alam semesta. Engkau telah melakukan berbagai perintah Allah yang
berpangkal dari iman dan ketaatan, tetapi mengapa engkau beriman kepada
sebagian ketetapan-Nya dan ingkar terhadap sebagian yang lain, padahal
engkau mengetahui bahwa sumber dari semua perintah itu adalah satu,
yakni Allah Subhanahu wa Ta’ala?
Seperti shalat dan amalan lain yang senantiasa engkau kerjakan, maka
berjilbab pun adalah satu amalan yang seharusnya juga engkau perhatikan.
Allah Ta’ala telah menurunkan perintah hijab kepada setiap wanita
mukminah. Maka itu berarti bahwa hanya wanita-wanita yang memiliki iman
yang ridha mengerjakan perintah ini. Adakah engkau tidak termasuk ke
dalam golongan wanita mukminah?
Ingatlah saudariku, bahwa sesungguhnya keadaanmu yang tidak berjilbab
namun masih mengerjakan amalan-amalan lain, adalah seperti orang yang
membawa satu kendi penuh dengan kebaikan akan tetapi kendi itu
berlubang, karena engkau tidak berjilbab. Janganlah engkau sia-siakan
amal shalihmu disebabkan orang-orang yang dengan bebas di setiap tempat
memandangi dirimu yang tidak mengenakan jilbab. Silakan engkau
bandingkan jumlah lelaki yang bukan mahram yang melihatmu tanpa jilbab
setiap hari dengan jumlah pahala yang engkau peroleh, adakah sama
banyaknya?
2. “Iman kan letaknya di hati. Dan yang tahu hati seseorang hanya aku dan Allah.”
Duhai saudariku…Tahukah engkau bahwa sahnya iman seseorang itu terwujud dengan tiga hal, yakni meyakini sepenuhnya dengan hati, menyebutnya dengan lisan, dan melakukannya dengan perbuatan?
Seseorang yang beramal hanya sebatas perbuatan dan lisan, tanpa
disertai dengan keyakinan penuh dalam hatinya, maka dia termasuk ke
dalam golongan orang munafik. Sementara seseorang yang beriman hanya
dengan hatinya, tanpa direalisasikan dengan amal perbuatan yang nyata,
maka dia termasuk kepada golongan orang fasik. Keduanya bukanlah bagian
dari golongan orang mukmin. Karena seorang mukmin tidak hanya meyakini
dengan hati, tetapi dia juga merealisasikan apa yang diyakininya melalui
lisan dan amal perbuatan. Dan jika engkau telah mengimani perintah
jilbab dengan hatimu dan engkau juga telah mengakuinya dengan lisanmu,
maka sempurnakanlah keyakinanmu itu dengan bersegera mengamalkan
perintah jilbab.
3. “Aku kan masih muda…”
Saudariku tercinta… Engkau berkata bahwa usiamu masih belia sehingga
menahanmu dari mengenakan jilbab, dapatkah engkau menjamin bahwa esok
masih untuk dirimu? Apakah engkau telah mengetahui jatah hidupmu di
dunia, sehingga engkau berkata bahwa engkau masih muda dan masih
memiliki waktu yang panjang? Belumkah engkau baca firman Allah ‘Azza wa
Jalla yang artinya,
“Kamu tidak tinggal (di bumi) melainkan sebentar saja, jika kamu sesungguhnya mengetahui.” (Qs. Al-Mu’minuun: 114)
“Pada hari mereka melihat adzab yang diancam kepada mereka,
(mereka merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat
pada siang hari. (Inilah) waktu pelajaran yang cukup.” (Qs. Al-Ahqaaf: 35)
Tidakkah engkau perhatikan tetanggamu atau teman karibmu yang seusia
denganmu atau di bawah usiamu telah menemui Malaikat Maut karena
perintah Allah ‘Azza wa Jalla? Tidakkah juga engkau perhatikan si
fulanah yang kemarin masih baik-baik saja, tiba-tiba menemui ajalnya dan
menjadi mayat hari ini? Tidakkah semua itu menjadi peringatan bagimu,
bahwa kematian tidak hanya mengetuk pintu orang yang sekarat atau pun
orang yang lanjut usia? Dan Malaikat Maut tidak akan memberimu
penangguhan waktu barang sedetik pun, ketika ajalmu sudah sampai. Setiap
hari berlalu sementara akhiratmu bertambah dekat dan dunia bertambah
jauh. Bekal apa yang telah engkau siapkan untuk hidup sesudah mati?
Ketahuilah saudariku, kematian itu datangnya lebih cepat dari detak
jantungmu yang berikutnya. Jadi cepatlah, jangan sampai terlambat…
4. “Jilbab bikin rambutku jadi rontok…”
Sepertinya engkau belum mengetahui fakta terbaru mengenai
‘canggih’nya jilbab. Dr. Muhammad Nidaa berkata dalam Al-Hijaab wa
Ta’tsiruuha ‘Ala Shihhah wa Salamatus Sya’ri tentang pengaruh jilbab
terhadap kesehatan dan keselamatan rambut,
“Jilbab dapat melindungi rambut. Penelitian dan percobaan telah
membuktikan bahwa perubahan cuaca dan cahaya matahari langsung akan
menyebabkan hilangnya kecantikan rambut dan pudarnya warna rambut.
Sehingga rambut menjadi kasar dan berwarna kusam. Sebagaimana juga udara
luar (oksigen) dan hawa tidaklah berperan dalam pertumbuhan rambut.
Karena bagian rambut yang terlihat di atas kepala yang dikenal dengan
sebutan batang rambut tidak lain adalah sel-sel kornea (yang
tidak memiliki kehidupan). Ia akan terus memanjang berbagi sama rata
dengan rambut yang ada di dalam kulit. Bagian yang aktif inilah yang
menyebabkan rambut bertambah panjang dengan ukuran sekian millimeter
setiap hari. Ia mendapatkan suplai makanan dari sel-sel darah dalam
kulit.
Dari sana dapat kita katakan bahwa kesehatan rambut bergantung pada
kesehatan tubuh secara umum. Bahwa apa saja yang mempengaruhi kesehatan
tubuh, berupa sakit atau kekurangan gizi akan menyebabkan lemahnya
rambut. Dan dalam kondisi mengenakan jilbab, rambut harus dicuci dengan
sabun atau shampo dua atau tiga kali dalam sepekan, menurut kadar lemak
pada kulit kepala. Maksudnya apabila kulit kepala berminyak, maka
hendaklah mencuci rambut tiga kali dalam sepekan. Jika tidak maka cukup
mencucinya dua kali dalam sepekan. Jangan sampai kurang dari kadar ini
dalam kondisi apapun. Karena sesudah tiga hari, minyak pada kulit kepala
akan berubah menjadi asam dan hal itu akan menyebabkan patahnya batang
rambut, dan rambut pun akan rontok.” (Terj. Banaatunaa wal Hijab hal. 66-67)
5. “Kalau aku pakai jilbab, nanti tidak ada laki-laki yang mau
menikah denganku. Jadi, aku pakai jilbabnya nanti saja, sesudah
menikah.”
Wahai saudariku… Tahukah engkau siapakah lelaki yang datang
meminangmu itu, sementara engkau masih belum berjilbab? Dia adalah
lelaki dayyuts, yang tidak memiliki perasaan
cemburu melihatmu mengobral aurat sembarangan. Bagaimana engkau bisa
berpendapat bahwa setelah menikah nanti, suamimu itu akan ridha
membiarkanmu mengulur jilbab dan menutup aurat, sementara sebelum
pernikahan itu terjadi dia masih santai saja mendapati dirimu tampil
dengan pakaian ala kadarnya? Jika benar dia mencintai dirimu, maka
seharusnya dia memiliki perasaan cemburu ketika melihat auratmu terbuka
barang sejengkal saja. Dia akan menjaga dirimu dari pandangan liar
lelaki hidung belang yang berkeliaran di luar sana. Dia akan lebih
memilih dirimu yang berjilbab daripada dirimu yang tanpa jilbab. Inilah
yang dinamakan pembuktian cinta yang hakiki!
Maka, jika datang seorang lelaki yang meminangmu dan ridha atas
keadaanmu yang masih belum berjilbab, waspadalah. Jangan-jangan dia
adalah lelaki dayyuts yang menjadi calon penghuni Neraka.
Sekarang pikirkanlah olehmu saudariku, kemanakah bahtera rumah tanggamu
akan bermuara apabila nahkodanya adalah calon penghuni Neraka?
6. “Pakai jilbab itu ribet dan mengganggu pekerjaan. Bisa-bisa nanti aku dipecat dari pekerjaan.”
Saudariku… Islam tidak pernah membatasi ruang gerak seseorang selama
hal tersebut tidak mengandung kemaksiatan kepada Allah. Akan tetapi,
Islam membatasi segala hal yang dapat membahayakan seorang wanita dalam
melakukan aktivitasnya baik dari sisi dunia maupun dari sisi akhiratnya.
Jilbab yang menjadi salah satu syari’at Islam adalah sebuah penghargaan
sekaligus perlindungan bagi kaum wanita, terutama jika dia hendak
melakukan aktivitas di luar rumahnya. Maka dengan perginya engkau untuk
bekerja di luar rumah tanpa jilbab justru akan mendatangkan petaka yang
seharusnya dapat engkau hindari. Alih-alih mempertahankan pekerjaan,
engkau malah menggadaikan kehormatan dan harga dirimu demi setumpuk
materi.
Tahukah engkau saudariku, siapa yang memberimu rizki? Bukankah Allah
-Rabb yang berada di atas ‘Arsy-Nya- yang memerintahkan para malaikat
untuk membagikan rizki kepada setiap hamba tanpa ada yang dikurangi
barang sedikitpun? Mengapa engkau lebih mengkhawatirkan atasanmu yang
juga rizkinya bergantung kepada kemurahan Allah?
Apakah jika engkau lebih memilih untuk tetap tidak berjilbab, maka
atasanmu itu akan menjamin dirimu menjadi calon penghuni Surga? Ataukah
Allah ‘Azza wa Jalla yang telah menurunkan perintah ini kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang akan mengadzabmu akibat kedurhakaanmu itu? Pikirkanlah saudariku… Pikirkanlah hal ini baik-baik!
7. “Jilbab itu bikin gerah, dan aku tidak kuat kepanasan.”
Saudariku… Panas mentari yang engkau rasakan di dalam dunia ini tidak
sebanding dengan panasnya Neraka yang akan kau terima kelak, jika
engkau masih belum mau untuk berjilbab. Sungguh, dia tidak sebanding.
Apakah engkau belum mendengar firman Allah yang berbunyi,
“Katakanlah: ‘(Api) Neraka Jahannam itu lebih sangat panas. Jika mereka mengetahui.’” (Qs. At-Taubah: 81)
Dan sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam yang artinya,
“Sesungguhnya api Neraka Jahannam itu dilebihkan panasnya (dari
panas api di bumi sebesar) enam puluh sembilan kali lipat (bagian).” [Hadits shahih. Riwayat Muslim (no. 2843) dan Ahmad (no. 8132). Lihat juga Shahih Al-Jaami' (no. 6742), dari Shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu]
Manakah yang lebih sanggup engkau bersabar darinya, panasnya matahari
di bumi ataukah panasnya Neraka di akhirat nanti? Tentu engkau bisa
menimbangnya sendiri…
8. “Jilbab itu pilihan. Siapa yang mau pakai jilbab silakan, yang belum mau juga gak apa-apa. Yang penting akhlaknya saja benar.”
Duhai saudariku… Sepertinya engkau belum tahu apa yang dimaksud
dengan akhlak mulia itu. Engkau menafikan jilbab dari cakupan akhlak
mulia, padahal sudah jelas bahwa jilbab adalah salah satu bentuk
perwujudan akhlak mulia. Jika tidak, maka Allah tidak akan memerintahkan
kita untuk berjilbab, karena dia tidak termasuk ke dalam akhlak mulia.
Pikirkanlah olehmu baik-baik, adakah Allah memerintahkan hamba-Nya
untuk berakhlak buruk? Atau adakah Allah mengadakan suatu ketentuan yang
tidak termasuk dalam kebaikan dan mengandung manfaat yang sangat besar?
Jika engkau menjawab tidak ada, maka dengan demikian engkau telah
membantah pendapatmu sendiri dan engkau telah setuju bahwa jilbab
termasuk ke dalam sekian banyak akhlak mulia yang harus kita koleksi
satu persatu. Bukankah demikian?
Ketahuilah olehmu, keputusanmu untuk tidak mengenakan jilbab akan membuat Rabb-mu menjadi cemburu, sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang artinya,
“Sesungguhnya Allah itu cemburu dan seorang Mukmin juga cemburu.
Adapun cemburunya Allah disebabkan oleh seorang hamba yang mengerjakan
perkara yang diharamkan oleh-Nya.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4925) dan Muslim (no. 2761)]
9. “Sepertinya Allah belum memberiku hidayah untuk segera berjilbab.”
Saudariku… Hidayah Allah tidak akan datang begitu saja, tanpa engkau
melakukan apa-apa. Engkau harus menjalankan sunnatullah, yakni dengan
mencari sebab-sebab datangnya hidayah tersebut.
Ketahuilah bahwa hidayah itu terbagi menjadi dua, yaitu hidayatul bayan dan hidayatut taufiq. Hidayatul bayan adalah bimbingan atau petunjuk kepada kebenaran, dan di dalamnya terdapat campur tangan manusia. Adapun hidayatut taufiq
adalah sepenuhnya hak Allah. Dia merupakan peneguhan, penjagaan, dan
pertolongan yang diberikan Allah kepada hati seseorang agar tetap dalam
kebenaran. Dan hidayah ini akan datang setelah hidayatul bayan dilakukan.
Janganlah engkau jual kebahagiaanmu yang abadi dalam Surga kelak
dengan dunia yang fana ini. Buanglah jauh-jauh perasaan was-wasmu itu.
Tempuhlah usaha itu dengan berjilbab, sementara hatimu terus berdo’a
kepada-Nya, “Allahummahdini wa saddidni. Allahumma tsabit qolbi ‘ala dinik (Yaa Allah, berilah aku petunjuk dan luruskanlah diriku. Yaa Allah, tetapkanlah hatiku di atas agama-Mu).”
-Bersambung Insya Allah-
Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Murojaah: Ust. Aris Munandar hafidzahullah
Murojaah: Ust. Aris Munandar hafidzahullah
***
Artikel muslimah.or.id
No comments:
Post a Comment